Seide.id – Saya malu-semalunya, ketika saya ditegur oleh hati nurani sendiri.
“Jangan mengeluh, lakukan semua itu dengan ikhlas.”
Saya kaget dan mencoba protes, karena disalahkan. Apalagi dibilang tidak ikhlas. Padahal saya melakukan pekerjaan itu dengan kesungguhan hati. Saya rela berbagi waktu, tenaga, dan biaya.
Kenyataannya, saya tetap dicela, ditegur, tidak dihargai, dan dituduh sebagai pencitraan.
Alasannya, kegiatan positif dan baik itu tidak pantas, jika dinilai sebatas dari materi. Memberi dengan ikhlas itu, jika kita mampu melepas tanpa kehilangan. Kita melakukan semua itu dengan tulus.
Hal itu yang seharusnya saya jalani dengan hati yang ikhlas, ketika saya mendampingi beberapa umat belajar berwirausaha membuat kue basah dan menjual gorengan untuk dititipkan ke warung-warung.
Sabar-sesabarnya itulah perilaku yang harus saya jalani, syukuri, dan nikmati.
Bagaimana saya tidak harus sabar. Untuk menjelaskan semua itu, saya belajar cara sederhana agar materi yang saya sampaikan itu mudah dimengerti dan dipahami mereka
Saya harus membuka dan mengubah pola pikir mereka agar merasa dihargai dan diberdayakan.
Saya juga harus mengajari mereka dalam mengelola usaha maupun keuangannya agar mereka mampu mengembalikan kredit koperasi, dan jadi mandiri.
Saya dan tim juga membantu untuk memasarkan hasil produksi mereka lewat grup pertemanan agar mereka makin percaya diri dalam berwirausaha.
Kenyataannya, toh melakukan hal itu semudah membalikkan telapak tangan.
Ada umat yang diberi pinjam modal usaha dari koperasi itu, ternyata tidak disiplin dalam mengangsur kredit secara Mingguan. Dua tiga kali kewajiban mereka penuhi, lalu macet.
Mereka macet memenuhi kewajiban membayar, karena alasan untuk biaya sekolah anak, pengobatan bagi yang sakit, dan seterusnya.
Kenyataan pahit itu yang membuat saya sering merasa kehilangan energi, bosan, dan merasa sia-sia untuk mendampingi mereka. Karena ada di antara mereka yang tidak mampu mengurangi merokok atau ngerem keinginan anak.
Jujur, dan jujur sejujurnya, sebagai pendamping saya tertantang dan ingin berjuang bersama mereka. Asalkan, seluruh anggota keluarga mereka kompak untuk saling mengingatkan dan mendukung demi menaikkan taraf hidup dan ekonomi keluarga.
Saya dan tim memberi mereka kail, bukan umpan, tujuannya tidak lain agar mereka dapat mencari ikan sendiri dan mandiri.
Berserah pada Allah adalah sumber kekuatan saya untuk tidak mudah menyerah dalam mengedukasi umat dan memberdayakan mereka.
“Lakukan semua itu bukan untuk diri sendiri, melainkan demi mereka, dan demi Aku…”
Saya mejamkan mata, melafal doa. Semangat percaya diri saya pulih kembali untuk berjuang, melayani sesama dengan hati. (Mas Redjo)