Foto : Jakob Owens / Unsplash
Oleh: Pupung D. Pribadi
“Aku saat ini adalah aku yang bahagia,” katanya suatu ketika. “Punya pekerjaan, jabatan, usaha berjalan lancar, dan keluarga yang harmonis.”
“Kalau kamu yang dulu?” tanyaku ingin tahu.
“Kamu akan menangis jika mendengar cerita masa kecilku.”
“Oh, ya?!”
Ia lalu mulai cerita.
Ia bungsu dari tiga bersaudara dalam keluarga sederhana. Ketika bayi, ia harus kehilangan ayahnya, karena sakit.
Ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Ibarat perahu yang dihantam ombak besar, keluarganya jadi oleng, bahkan nyaris karam.
Mereka hidup sangat prihatin. Tapi, yang membuat mereka tidak menyerah adalah keyakinan, bahwa hidup akan berubah, jika kita memiliki semangat juang tinggi dan selalu ikhtiar. Tekad dan semangat itulah yang membuat ia jadi rajin sekolah.
Lulus SD, ia dititipkan pada keluarga Bibi di luar kota. Ibunya tidak mampu membiayai sekolahnya. Hal itu merupakan penderitaan terberat yang harus ia jalani. Ia terpaksa berpisah dari ibu dan kedua kakaknya.
Hari-harinya penuh airmata. Sebagai anak titipan, ia sering dicemoohan oleh teman-teman. Tapi demi masa depan, hinaan itu harus ia kesampingkan demi sekolah.
Singkat kata, selulus SMP, ia ke SMA, lalu melanjutkan ke perguruan tinggi. Semua itu dijalaninya dengan susah payah dan linangan air mata. Bersyukur, akhirnya ia lulus dengan nilai memuaskan, lalu diterima bekerja sebagai jurnalis di stasiun tv swasta.
Dari stasiun tv itulah ia merasakan hidup yang sesungguhnya. Bekerja dan mempunyai uang.
Hari-harinya ia habiskan untuk liputan. Di dalam dan di luar negeri. Yang menghebohkan adalah, ketika ia sukses mewawancarai langsung Mike Tyson di Las Vegas, 1995.
Orang-orang yang mengenal benar perjalanan hidup gadis itu tentu tidak menyangka. Gadis kecil yang kurus, hitam, ringkih, dan akrab dengan penderitaan itu telah meraih sukses.
Sepulang dari Las Vegas kariernya makin cemerlang. Ia diangkat sebagai Public Relations Manager. Lima tahun kemudian ia menduduki kursi Corporate Secretary yang membawahi Legal, Investor Relations dan Public Relations, Research & Development.
Setelah puluhan tahun bekerja di perusahaan orang, dan karirnya cemerlang, ia mengundurkan diri untuk merintis usahanya sendiri.
Kini ia menikmati hasil usaha dan hidupnya. Meski telah sukses, ia kerap menangis, ketika teringat kenangan masa lalu yang kelam.
•••••••••••••••••••
Teman, dari sini kita belajar banyak agar jangan pernah meremehkan, merendahkan, dan menyepelekan orang kecil atau miskin. Sebab, kita tidak tahu perjalanan hidup mereka bisa lebih hebat dan sukses melebihi kita.
Semoga, kita makin arif dan bijaksana menjalani hidup ini.
Benarkah Si Kecil Berniat Merusak Mainannya?