Seide.id – Gemar ikut campur urusan orang lain? Istilah sekarangnya icam, kependekan dari ikut campur.
Hati-hati ah kalau Anda suka icam. Jangan-jangan sebetulnya Anda yang bermasalah dan perlu bantuan.
Siapa pun pasti sebal menghadapi orang yang selalu mau tahu dan cenderung ikut campur urusan orang lain. Bahkan, tanpa diminta, biasanya orang itu akan memberi “nasihat gratis” atas masalah yang tengah kita hadapi.
Boleh jadi kita akan berkata ketus atau malah menghardiknya, “Ngapain sih ikut campur urusan orang lain?”
Akan tetapi, tak ada salahnya kita introspeksi diri, siapa tahu kita pun setali tiga uang.
Pasalnya, setiap individu pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk icam. Kecenderungan ini biasanya lebih karena faktor lingkungan.
Masyarakat kita kan tak jarang kelewat sosial. Dalam arti, segala sesuatu yang menjadi urusan orang lain sekaligus jadi urusan kita juga.
Itu sebabnya, kalau dirasa ada hal-hal yang dianggap kurang benar dalam diri orang lain, akan segera muncul dorongan untuk “meluruskannya”. Dengan cara membicarakannya langsung bersama yang bersangkutan atau malah asyik membicarakan kekurangan tadi dengan orang lain.
Tak heran, muncul fenomena “netizen paling benar dengan segala komentar” di media sosial.
Sayangnya, baik saat membicarakannya dengan yang bersangkutan maupun dengan orang lain, orang yang suka icam bukan berniat mencarikan solusi, melainkan cenderung malah membesar-besarkan masalah dengan mencari-cari kesalahan orang lain.
Buntut-buntutnya, apalagi kalau bukan malah menciptakan masalah baru atau setidaknya membuat orang lain sebal.
Proyeksi diri
Ikut campur bisa terjadi karena beberapa hal, salah satunya proyeksi. Dalam arti, si individu berbuat kesalahan serupa, sehingga ketika orang lain melakukan kesalahan yang kurang lebih sama, ia akan melihatnya dengan jelas sekali.
Dengan kata lain, ia memproyeksikan kelemahannya pada orang lain. Manusiawi sekali ya?
Seperti kata pepatah, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak.”
Konkretnya, kita begitu asyik membicarakan orang lain hanya karena kita ingin menyembunyikan keburukan serupa dalam diri kita.
Kedua, yang bersangkutan menjadikan kebiasaan ikut campur sekadar mengisi waktu atau lantaran tak ada aktivitas lain yang dianggapnya bisa memberi keasyikan. Baginya, “sosialisasi” semacam ini dianggap amat berharga.
Itu sebabnya, individu yang aktif dan banyak bekerja umumnya merasa tak sempat untuk membicarakan orang lain.
Penyebab lain adalah kecenderungan dalam diri tiap individu untuk mengatur sesuatu ataupun orang lain.
Artinya, setiap orang menganggap eksistensi dirinya begitu penting, sehingga dunia tak akan bisa berputar tanpa dirinya.
Kesempatan dan anggapan mampu mengatur orang lain inilah yang kemudian memberinya kepuasan yang membuatnya tak sekadar jadi angin lalu.
Begitu juga dengan membicarakan atau ikut campur urusan orang lain yang memberi si individu kebanggaan tersendiri bahwa dirinya berarti.
Cekcok berkepanjangan
Celakanya, bila dibiarkan, kebiasaan ikut campur urusan orang lain bisa menimbulkan konflik suami-istri.
Contohnya, kalau istri suka icam, sementara suami justru sebaliknya, bukan tidak mungkin suami bolak-balik bakal memarahi pasangannya.
“Mama kok norak banget! Lagian ngapain sih ikut campur urusan orang?” Meskipun, sebetulnya, kondisi ini lebih bagus ketimbang pasangan sama-sama suka icam. (Puspayanti, kontributor)