Abah Dadang Sukmana
Oleh Herna S Zaldi
Bahwa di Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah (Kabupaten Bandung) ada kampung pelukis – yaitu desa dengan warganya rata-rata bekerja sebagai “tukang lukis”, saya sudah lama tahu. Tapi, bila ternyata kampung pelukis itu berada di sekitar lingkung seni (padepokan) Giriharja, dengan dalang fenomenal (alm) Asep Sunandar Sunarya, saya baru tahu kemarin – yaitu saat saya bertamasya ke desa – jalan lintas menuju ke Majalaya itu.
Menurut Abah Dadang Sukmana, salah seorang pelukis, gairah melukis di kalangan masyarakat Jelekong justru terinspirasi dari banyaknya wisatawan, entah domestik entah mancanenara, yang datang ke desa mereka karena kemasyhuran nama Asep Sunandar Sunarya. Pada kunjungan itu rata-rata wisatawan bawa duit dan minta dibelanjakan. Sebelumnya, cinderamata dari Desa Jelekong hanya berupa wayang golek.
Satu-dua orang warga kemudian mencoba melukis, dipajang di pekarangan rumah – dan belum sempat itu lukisan tergantung sempurna, orang bule sudah membayarnya. Sejak saat itu, sekitar tahun 1980- an, anak-anak muda Jelekong, bahkan warga yang dari luar desa mencoba keberuntungan menjadi pelukis. Dan rata-rata laris.
Di Desa Wisata Jelekong sekarang terdapat sedikitnya 400 orang pelukis. Karya mereka yang kebanyakan natural nyatanya terlalu banyak bila hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan wisatawan yang datang ke desa mereka. Pasar pun dikembangkan, antara lain dikirim ke Bandung Kota (kawasan Braga), Bali, Jakarta bahkan ada yang mencoba pasaran Timur Tengah.
Harga lukisan karya pelukis Jelekong ini terbilang murah meriah. Untuk lukisan pemandangan ukuran kanvas 60 x 100 cm, berkisar antara Rp 150.000,- s.d Rp 300.000,-Tapi untuk lukisan ukuran tertentu, harga bisa mencapai Rp 2 juta bahkan hingga Rp 4 juta termasuk bingkai.
Abah Dadang, ayah dua anak berusia 59 tahun, pernah merasa berjaya sebagai pelukis. Setiap karya selesai digarap langsung jadi duit. Belakangan Dadang malah lebih banyak bergiat menjadi agen penjual daripada melukis. Tugas melukis diserahkan pada anak-anak muda.
“Itu cerita dulu, sebelum virus corona melanda,” kata Abang Dadang, memulai cerita deritanya. “Sekarang parah. Sejak dua tahun terakhir tak ada wisatawan datang ke Jelekong. Pengiriman ke Braga, Jakarta dan Bali juga stop. Bukankah pandemi Covid-19 diberlakukan di mana-mana, di Indonesia juga mancanegara?”
“Tapi apa mau dikata? Putus asa tak baik, dosa,” katanya entah pada siapa. “Yang jelas kami harus tetap optimistis, semangat. Caranya, ya mungkin lewat sampean ini. Siapa tahu setelah diposting di FB atau Ig ada peminat yang mau beli secara OL. Soalnya, lukisan kami bisa digulung dan dikirim melalui pos atau jasa pengiriman dengan harga murah, ” Imbuhnya.
Namun demikian, di sepanjang jalan di Desa Wisata Jelekong saya masih melihat anak-anak muda sedang melukis. Mungkin mereka tak dapat menemukan pekerjaan lain. Mungkin mereka sedang mengumpulkan stok agar pada saat pandemi berakhir mereka punya banyak persediaan. Mungkin juga mereka sekadar bekerja, mengisi waktu – daripada stress memikirkan Pandemi COVID-19 yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kapan berakhir. Mungkin.***