Jembatan

Seide.id – Malam tadi, hujan turun dengan lebat, meski sekelebat. Pagi ini, mendung menggantung. Hari ditelikung menjadi murung. Mengapa mendung disebut menggantung? Menurut analisa ngawurku, dugaanku, uthak-athik-gathukku, siapa pun saja penggagas frasa ‘mendung menggantung’ itu, pasti merujuk kepada bunyi ‘ung’-nya. Lagi pula, mendung memang lebih layak disebut menggantung daripada menggeletak.

Mendiang Ibuku, dulu kerap berkata bahwa hujan yg turun di pagi hari adalah: “Hujan orang kaya!”,…hlo? Sebab menurutnya, hujan di pagi hari membuat orang malas bangkit dari tempat tidur. Hujan di pagi hari membuat orang malas beraktivitas. Hujan di pagi hari membuat orang kembali menarik selimut, meski selimut butut. Kembali meringkuk. Nah.., hanya orang kaya yg ‘pantas’ melakukan semua tindakan bermalas-malasan di pagi hari.

Aku, meski bukan orang kaya, pun ikut-ikutan malas untuk melakukan aktivitas. Biasanya, jika tak turun hujan, aku kerap jalan pagi, berkeliling saja dekat-dekat di sekitar perumahan kami. Atau paling tidak berjemur di halaman mungil rumahku yg alhamdulillah karena posisi rumah, jadi aku tak perlu ke luar halaman untuk berjemur matahari pagi.

Jika, tak melakukan keduanya, biasanya aku nggowes sepeda statis, sekadar mencari keringat. Tapi, sejak sepeda statisku rusak tuas pemberat gowesnya (semacam alat yg diputar ke angka tertentu, untuk memperberat pedal gowes, lumayan bisa berkeringat), aku jadi angin-anginan menggowes.

Pagi ini, sekali lagi untuk memperoleh keringat, aku…menyanyi. Ini kali lagu dari Sir Elton John yg syairnya (seperti sebagian besar lagu-lagunya) ditulis oleh Bernie Taupin. Judulnya: The Bridge. Jembatan.

Jembatan, adalah alat penghubung yang memungkinkan kita bergerak dari dau buah tempat yg sebelumnya terpisah. Secara fisik, sejak zaman purba sampai hari ini demikianlah fungsi jembatan.

Dulu, manusia membuat jembatan dari pohon tumbang supaya bisa menyeberangi sungai. Lalu, membuat semacam tali, untuk mengangkat atau ‘memegang’ lantai jembatan tempat kita melangkah. Kita menyebutnya jembatan gantung. Lalu, membuat tiang-tiang kokoh untuk lantai, tempat kita menginjak dan melangkah. Lalu, di zaman modern, ketika tiang-tiang kokoh itu dirasa ‘mengganggu’ lalu-lintas di bawahnya (kapal-kapal jadi terhalang ketika melitas, misalnya), manusia kembali berfikir untuk kembali menggunakan semacam tali baja untuk menguatkan, membuat lapang lalu-lintas kapal di bawahnya, yang ternyata kokoh dan juga cantik, secara estetik.

Lagu Elton John ini, bercerita tentang bagaimana manusia memperlakukan jembatan. Ada manusia yang memperlakukan jembatan dengan bijak dan semustinya. Tapi banyak juga yang tak berani untuk sekadar melintas. Ada yang menggunakannya untuk menyeberang dari zona nyamannya ke dunia yg belum pasti. Ada yang menggunakan jembatan sebagai sarana untuk mengakhiri hidup. Bahkan ada yang mati-matian mencoba dan mencoba, melintas, gagal, melintas lagi…, gagal lagi. Tapi terus berusaha tak kunjung jera.

Tadinya, ketika menyanyi, aku ingin membuat ilustrasi dengan sketsa cat airku. Sketsa itu menggambarkan anak-abak SD di suatu desa sedang melintas di atas jembatan rusak, semetara di bawahnya, arus sungai mengalir deras. Tapi setelah aku cari-cari tak juga ketemu, akhirnya aku ingat.., ternyata sketsa itu ada di Prabumulih Sumsel. Sketsa itu pun aku buat di sana.

Akhirnya sebagai ilustrasi, aku pakai gambar lama -mungkin berumur 20-25 tahun yang aku buat dengan pensil untuk tabloid tempat kerjaku dulu di rubrik ‘Serambi Opini’

Mari menyanyi dunsanak. Mari berkeringat. Mari kita menjaga kesehatan jasmani dan -terutama- rohani…
(Aries Tanjung)

Laba-laba