OLEH SUNARDIAN WIRODONO
Berjumpa dengan Sang Pantomimer Agung Jemek Supardi, adalah berkah tiada tara. Beliau salah satu legenda hidup Yogyakarta.
Nama aselinya Supardi. Di belakang namanya, ada gelar BA (Bachelor of Art, yang jaman dulu setara Sarjana Muda, artinya belum Sarjana Tua).
Kisah gelar akademiknya cukup mengharukan. Jemek yang prigel, dulu bisa bikin tas kulit dan rajut, selain ketrampilan di atas bis dan di Kerjkof, suatu ketika mendapat pesanan papan nama dari seorang bernama Supardi. Mungkin baru saja lulus jenjang sarjana muda, hingga meminta di belakang nama itu ada tercantum gelar BA.
Mangsalahnya, pesanan papan nama itu tak pernah diambil. Mungkin Jemek tidak jengkel, apalagi belum dibayar. Buktinya, ia justeru memajang papan nama itu di pintu rumahnya Brigjen Katamso, deket THR. Jadilah nama ‘Supardi BA’ pun dibaptiskan pada Jemek Supardi itu.
Tak Lagi Merokok
Rumah Brigjen Katamso 159, cukup legendaris. Seno Gumira Ajidarma, pernah bikin pabrik di situ ketika masih bernama Mira Sato. Pabrik Tulisan, demikian perusahaan yang didirikan Sena, tempat berkumpul para seniman yang waktu itu masih muda. Sebagai pabrik tulisan, produknya antara lain buku. Setidaknya Sena menerbitkan kumpulan puisi pertamanya, dengan judul ‘Mati, Mati, Mati’.
Sore tadi, saya menemuinya lagi thenguk-thenguk di gang kelinci rumahnya. Bau sedap sate buntel selalu menggoda setiap nongkrong di gang yang dibuat hanya khusus ke kamar Jemek Supardi. Rambutnya panjang. Lebih panjang dari penyanyi reggae mana pun, meski depannya klimis. Wajahnya kelihatan tidak muda lagi, sangat senior. Dan saya tahu berapa persis usianya, karena ia lahir pada tanggal dan bulan sama persis dengan saya, meski 10 tahun beliau duluan.
“Tiga kali aku ikut vaksin, tapi selalu gagal,” katanya. Itu setiap hendak disuntik, selalu gagal ketika pas cek kesehatan, konon gangguan nafas selalu jadi pertimbangan dokter untuk jangan divaksin dulu. Sebagai warga negara yang pro-vaksin, Jemek tidak melakukan protes dan demo. Toh sebagai pemegang KIS, ia sudah merasa dibantu negara bila-bila masa masuk rumah sakit.
Masih Sanggup main
Katanya sudah 10 tahun ia tak merokok. Saya sedih kehilangan teman merokok, tapi mendukungnya sekira itu baik baginya. Dan ngobrol tanpa ngrokok dengan Jemek itu nggak enak. Apalagi banyak pantangannya pula. Nggak lagi makan daging dia. Sudah jadi Buddha dan vegetarian kata gossip.
Tapi Jemek sehat. Sepanjang perjalanan mayeng-mayeng keliling Yogya hingga Bantul, dan akhirnya berlabuh di suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya. Kami ngobrol dalam tiupan angin sawah yang kencang, di sebuah warung sate lele. “Satenya enak, empuk,…” kata Jemek yang tidak bermasalah dengan giginya. Karena empuk itu tadi. Tidak alot.
“Masih kuat pantomim nggak?” goda saya. Ia menjawab semangat. Saya pun mikir-mikir, semoga ada yang mau mensponsorinya. Dana-dana biasa saja, bukan yang istimewa. Dan seperti biasa, Jemek menyanggupi untuk berpantomim bulan depan.
Setelah mengantarnya kembali ke Brigjen Katamso, kami pun bersepakat; Mengajak Jemek collabs, untuk memberikan laporan kebudayaan bagi kota tercinta. Langsung dari lima wilayah DIY, dalam ‘Sedulur Papat Lima Pancer’, sebagai ritual rakyat jelantah pada Hyang Maha-agung. Semoga semesta mendukung.
SOSOK LAIN:
Wapres Perempuan Pertama AS, Kamala Harris, Sosok Yang Mengguncang Dunia