Citra Polri naik turun sesuai pencapaian dan berbagai skandal, tapi pengalaman buruk mereka yang diperas oknum polisi, dianiaya dan didzalimi polisi, dijebloskan ke sel bahkan diadili – tanpa kesalahan – tetap menjadi memori kelam masyarakat dan menunjukkan betapa lembaga ini memang perlu reformasi besar besaran.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
BERBAGAI skandal dan kebobrokan lembaga Polri saat ini tak bisa dilepaskan dari warisan para Kapolri terdahulu. Oknum oknum polisi brengsek, dari tingkat bawah hingga level jendral, mewarisi budaya brengsek yang terpelihara puluhan tahun dan melembaga di korps baju coklat itu.
Karena itu, tujuh purnawirawan Kapolri yang mendatangi Mabes Polri, kemarin, untuk menemui Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo dan pejabat utama di lingkungan Mabes Polri, tak bisa lepas tangan dan menimpakan kesalahan pada Kapolri saat ini.
Kompas melaporkan, sejumlah eks Kapolri yang datang, ke Mabes Polri di antaranya Jenderal (Purn) Bambang Hendarso Danuri, Jenderal (Purn) Roesmanhadi, dan Jenderal (Purn) Chaerudin Ismail. Kemudian, ada Jenderal (Purn) Tan Sri Dai Bachtiar, Jenderal (Purn) Soetanto, Jenderal (Purn) Timur Pradopo, dan Jenderal (Purn) Badrodin Haiti.
Mereka membahas menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi POLRI. Para mantan Kapolri optimis bahwa Polri akan bangkit dan kembali meraih kepercayaan publik.
“Kehadiran kami para purnawirawan Polri ini terpanggil tentu dengan situasi yang kita sama-sama prihatin adanya peristiwa,” ujar Dai Bachtiar di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (27/10/2022).
SUDAH LAMA, dan amat sangat lama, sebagian masyarakat kita antipati pada polisi. Pameo “ogah punya mantu polisi”, “menolak anak yang bercita cita jadi polisi”, “pensiunan polisi sengsara dan disisihkan”, merupakan cerita lama. Bukan baru terjadi.
Citra Polri naik turun sesuai pencapaian dan berbagai skandal, tapi pengalaman buruk mereka yang diperas oknum polisi, dianiaya dan didzalimi polisi, dijebloskan ke sel bahkan diadili – tanpa kesalahan – tetap menjadi memori kelam masyarakat dan menunjukkan betapa lembaga ini memang perlu reformasi besar besaran.
Presiden Jokowi belum lama ini mengumpulkan 600 petinggi polisi dari berbagai tingkat dan jabatan, di Istana Negara, menandai puncak kekesalan kepala negara karena perintah Kapolri pada bawahannya selama ini tidak digubris.
Jokowi secara khusus menyoroti gaya hidup polisi dan keluarganya yang wah, glamour, mewah, jor joran dan tidak sensitif terhadap kehidupan ekonomi masyarakat.
Tapi gaya hidup hedonis petinggi polisi tak hanya terjadi hari ini, meski meningkat akhir akhir ini. Ini adalah budaya warisan dari zaman sebelumnya.
Sebelum meledak kasus Irjen Fedy Sambo yang menyeret Brigjen Hendra Kurniawan dan Brigjen Benny Ali, dan kasus sabu Irjen Teddy Minahasa, yang menyeret eks Kapolres Bukittinggi AKBP Dody Prawiranegara – di era Lostyo Sigit Prabowo – sudah ada kasus Irjen Pol Napoleon Bonaparte (hapus ‘red notice’ Djoko Tjandra), Irjen Djoko Susilo dan Brigjen Didik Purnomo (Simulator SIM), Komjen Suyitno Landung dan Brigjen Samuel Ismoko (suap BNI), Irjen Raja Arizman dan Brigjen Edmon Ilyas (rekening Gayus Tambunan), Komjen Susno Duadji (korupsi perkara dan pilkada), yang semuanya diadili dan berakhir di bui.
ANTARA 2010 hingga 2015 lalu, ramai media online memberitakan kehebohan sekitar rekening gendut polisi. Jendral jendral yang memiliki kekayaan melimpah, melebihi profilnya sebagai pejabat dan abdi negara. Korupsi di Polri sudah lama membudaya.
Sedikitnya ada 17 nama pejabat tinggi Polri baik yang sudah purnawirawan maupun yang masih aktif diisukan punya rekening jumbo, dan sudah dilaporkan oleh PPATK.
Nama-nama ini beredar dari pesan berantai di BlackBerry Messenger (BBM), jendral jendral berekening gendut. Beberapa nama yang disebut, Da’i Bachtiar Rp 1,2 triliun, Adang Dorodjatun Rp 1,1 triliun, Makbul Padmanegara Rp 800 miliar, Saleh Saaf Rp 800 miliar,Firman Gani Rp 800 miliar,Iwan Supanji Rp 600 miliar, Rasyid Ridho Rp 600 miliar, dll.
Tak jelas siapa yang menyebar data itu dan benar atau tidaknya data tersebut. Namun jika dilihat dari nama-nama yang ada, memang tidak jauh dari nama jenderal yang pada 2010 lalu juga sempat diisukan punya “rekening jumbo”.
Jendral Purn. Dai Bachtiar menjelaskan, pertemuan antara mantan Kapolri sebenarnya rutin dilaksanakan. Hanya saja, pertemuan kali ini dilakukan demi memberi masukan terkait dengan peristiwa yang dialami Polri dalam beberapa waktu terakhir.
“Pada pertemuan kali ini memang ada sesuatu yang kita ingin berikan masukan, terutama kepada peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi,” ujanya. “Tentu kami memberikan dorongan semangat, spirit, bagi mereka untuk tabah dan juga berpikir rasional untuk menghadapi situasi ini,” imbuh Kapolri yang menjabat November 2001 –Juli 2005 ini.
Apalagi, kata Bachtiar, tingkat kepercayaan masyarakat kepada Polri sedang turun.
Untuk diketahui, tingkat penerimaan publik terhadap institusi Polri mencatatkan tren negatif. Hasil survei Litbang Kompas yang dirilis pada Kamis (27/10/2022) memperlihatkan, lembaga tersebut terus mendulang citra negatif dalam setahun terakhir. Pada Oktober 2021, citra negatif Polri sedianya hanya 18,5 persen. Lalu, naik 3,4 persen pada Januari 2022 menjadi 21,9 persen.
Kemudian, meningkat lagi 2,8 persen pada Juni 2022 menjadi 24,7 persen. Peningkatan paling tajam lagi-lagi terjadi pada periode Juni-Oktober 2022. Terkini, citra negatif Polri menyentuh angka 43,1 persen.
Sejalan dengan itu, citra positif Polri dalam setahun terakhir terus merosot.
Pada survei Oktober 2021, lembaga pimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu mendulang citra positif 77,5 persen. Lalu, sedikit turun pada Januari 2022 menjadi 74,8 persen. Pada Juni 2022, citra Polri melorot cukup tajam hingga 9,1 persen dan berada di angka 65,7 persen.
Penurunan paling drastis terjadi pada periode Juni-Oktober 2022. Dalam rentang waktu ini, citra positif institusi Bhayangkara anjlok 17,2 persen menjadi 48,5 persen. Menurut catatan Litbang Kompas, citra positif Polri pada Oktober 2022 mencapai titik terendah dalam dua tahun terakhir.
Mereka yang menjadi jendral dan sebagiannya bertingkah, seperti Irjen Pol Ferdy Sambo dan Irjen Pol Teddy Minahasa, boleh jadi “meneladani” para seniornya yang kini telah pensiun.
Karenanya para eks Kapolri tak bisa lepas tangan, menyalahkan dan menyerahkan tanggung jawab semata mata pada Kapolri saat ini. ***