Biasa tampil di belakang layar menyelamatkan event event bergengsi, di sirkuit Mandalika – Lombok, pawang hujan Rara Isti Wulandari terekspos dan mendunia. Foto MotoGP.
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SUKES Jeng Rara Isti Wulandari memindahkan hujan dari kawasan Mandalika bukan hanya menghebohkan dunia, melainkan juga menghidupkan pamor kearifan lokal dan merusak agenda para pendakwah Islam intoleran dan proyek Arabisasi.
Para agamawan dan politisis pro Islam transnasional, khususnya Ikhwanul Muslimin (PKS) , juga Salafi Wahabi dan HTI – kebakaran jenggot dan teriak “musrik” – “haram” karena tak sesuai dengan keyakinan mereka. Tidak sesuai dengan “kearifan Arab”.
Tentu saja tak semua penghayat ajaran Islam anti kearifan lokal menolak Rara. Cendekiawan NU dan Islam Nusantara – yang mewarisi ajaran Islam di Jawa selama ratusan tahun – dengan besar jiwa mengakui kehebatan mereka. Bagian dari “karomah”.
Para pendakwah Arab dan penganut Islam Arab pendatang baru – memang munafik. Yang hebat hebat tapi bukan dari jazirah Arab, ditolak dan diingkari, serta dianggap “haram” dan “musrik”.
Padahal kisah kisah nabi pendahulu yang mereka jajakan dan dongengkan juga memiliki “karomah” dan kemampuan supranatural juga. Mukjizat. Nabi Musa mengubah tongkat jadi ular, Nabi Isa menghidupkan orang mati – sedangkan Nabi Sulaiman bicara dengan binatang dan jin.
Pendakwah baru agama dari Arab hanya mengakui kehebatan nenek moyang Arab. Mereka antipati pada karomah yang berasal dari Bumi Nusantara.
Mereka pun lupa – ajaran Islam juga sebenarnya memiliki ritual minta hujan – shalat “istisqa”. Meski dalam praktek, sering boncos. Gagal. Tidak terbukti secara langsung. Kalah dengan cara tradisi dan kearifan lokal.
SESUNGGUHNYA pawang hujan ada di seluruh dunia. Bukan hanya “di dunia Islam” – dari jazirah Arab. Setiap suku bangsa di bumi Nusantara punya ahli pawang hujannya sendiri.
Sudah menjadi tradisi di Indonesia, ketika ada acara besar maupun kecil, bahkan hajatan di kalangan perumahan – jasa pawang hujan diikut-sertakan untuk memuluskan moment penting penyelengaraan acara.
Lebih dari itu, mereka menolak fakta bahwa di abad 21 ini, orang Dayak bisa menerbangkan mandau, warga Toraja membuat mayat berjalan – orang Badui anti bacok dan kebal api. Mengirim santet. Memindahkan hujan. Serta ilmu supranatural lain.
Mereka menolak dan mengharamkan lantaran bukan Muslim – bukan dari Arab. Yang hebat hebat hanya dari Arab, dari Nabi mereka. Dari Alloh mereka. Begitulah.
Sedangkan bagi orang modern dan penyelenggara acara, semboyan yang berlaku, dari pemimpin Cina, Deng Xiao Ping : “Tak penting bulu kucing berwarna hitam atau putih, yang penting bisa menangkap tikus”.
Tidak penting pakai tenaga ahli BMKG atau pawang hujan, yang penting moment balap Moto GP Mandalika 2022 terlaksana dan sukses! Ada 400 juta pasang mata dunia melihat kehebatan Jeng Rara.
Dan kontrak event pun di Mandalika diperpanjng hingga 10 tahun.
Sebelumnya jasa Rara Iswandari juga digunakan di Asian Games 2018. Bahkan mengaku dibayar Rp50 juta kerja enam jam, untuk memastikan tak ada hujan saat Konser “Gun ‘n Roses”.
Bukan pawang kaleng kaleng. Pengundang Jeng Rara tidak untung untungan.
Melalui Jeng Rara tradisi bumi Nusantara dan kearifan lokal berkibar.
Sedangkan pendakwah Arab dibikin kebakaran jenggot. ***