Dunia ini panggung sandiwara, dunia kita yang sesungguhnya. Apapun peran kita itu harus dijalani, disyukuri, dan nikmati sebagai anugerah Allah.
Bergonta ganti peran, bersandiwara itu hal biasa. Apa jadinya, jika hidup ini sekadar untuk bersandiwara dan berpura-pura?
Kura-kura dalam perahu, hati orang siapa tahu. Itulah yang tersembunyi di balik topeng kita sendiri.
Tidak perlu menyangkal, malu, apalagi marah.
Diakui atau tidak.
Ketika ada orang sakit, kelaparan, kesusahan, atau kecelakaan — kita sering berpura-pura tidak melihat, cuwek, tidak peduli, atau tak berempati. Padahal mereka butuh pertolongan kita.
Alasannya, karena sibuk, hal itu bukan urusan kita, atau ogah direpoti.
Sekali dua berpura-pura, hal itu tidak banyak mempengaruhi jiwa kita. Apalagi bagi yang sibuk dan tinggal di kota besar, sehingga peristiwa itu mudah terlupakan.
Apapun bisa, karena kita terbiasa.
Kebiasaan berpura-pura, berkamuflase, lama kelamaan menjadi karakter.
Lebih daripada itu, ketika rasa peduli dan empati kita terkikis dari hati ini, kita menjadi pribadi yang lamis; lain di mulut lain di hati. Kita piawai berkamuflase. Bahkan lebih parah lagi, jika berpura-pura sebagai gaya hidup.
Bermuka bunglon, berkamuflase, munafik, dan apapun sebutan lainnya itu sungguh memalukan, menyakitkan, dan mengikis martabat kita. Lebih menyakitkan, jika gegara kemunafikan itu orang tidak percaya kepada kita lagi.
Sebelum terlambat, lebih baik kita berani bersikap jujur dan terus terang.
Jangan bilang sulit atau berat hati untuk membuang sifat kepura-puraan itu.
Untuk melakukan hal-hal baik dan berpikir positif itu dibutuhkan niat, kesungguhan hati, semangat, perjuangan, dan rahmat Allah.
Percayalah, ketika kita mampu seia-sekata; satu kata dan perbuatan, hidup kita berasa damai dan bahagia.
Hidup tanpa kepura-puraan itu hebat. Miliki pribadi jujur dan hidup benar itu dahsyat. (MR)