Untuk yang kesekian kali, lelaki baya itu terhenyak. Dadanya seperti dihantam dengan martil. Menyesak, ngilu, dan sakit.
Bagaimana tidak sakit. Anak lelaki yang jadi kebanggaan keluarga, H telah mengharubirukan perasaan istrinya. Sekaligus menghancurkan harapan kedua orangtuanya.
Seharusnya lulus sarjana disambut dengan sukacita dan syukuran. Kenyataannya tidak seindah yang dibayangkan.
“Ini Ma, ijasah yang Mama inginkan. Tugasku udah selesai, ya…” kata H tanpa ekspresi, lalu meninggalkan Mamanya yang bengong sendirian.
Sejak itu H berubah jadi lebih pendiam. Lalu konflik keluarga muncul tiada habisnya. H mulai tidak betah di rumah, bahkan belakangan ini sering tidak pulang.
Ketika istrinya mulai sakit-sakitan, ia kembali mengingatkan H untuk mengalah agar mamanya cepat sembuh. Tidak seharusnya H keras kepala. Mamanya melakukan itu demi kebaikan dan masa depan H.
Sebaliknya, H tetap keukeh pada pendirian dan tidak mau menggunakan ijasah itu sebagai bekal bekerja.
Mulanya H ingin mengambil jurusan mesin, tapi Mama terlalu memaksa agar H kuliah jurusan arsitektur. Sehingga, dengan berat hati H menurut. H tidak mau konflik dengan orangtuanya jadi panjang.
Setelah Mamanya meninggal, sifat H tidak berubah. Sebaliknya makin jarang pulang. Hal itu yang membuat lelaki baya itu jadi masygul.
Padahal, jika mau, dengan ijasah itu H cepat memperoleh pekerjaan. Karena ada beberapa relasi yang tertarik untuk mempekerjakan H di perusahaannya. Karena H keras kepala, ia terpaksa berbohong pada relasinya, bahwa H ingin meneruskan kuliah lagi.
Sekiranya ia bersikap cuwek pada H, itu sebenarnya ia ingin memberi pelajaran pada H agar sadar diri, dan tidak sombong. Bahwa hidup dalam realita itu sulit dan berat. Apalagi mencari pekerjaan dengan ijazah SMA.
Ternyata sikap hati H tidak mencair. Kematian Mamanya seakan tidak mempengaruhi H untuk sadar diri dan berubah.
Sebagai Ayah, ia pun akhirnya mengalah. Ia mencoba mengorek rencana dan masa depan H. Tapi H sering kali menghindar, dan tidak menanggapi. H seakan tak peduli dengan masa depannya sendiri.
Umur H terus bertambah, makin tua, dan tidak mempunyai pekerjaan. Hal itu yang membuat ia terpukul. Apalagi, jika relasi mampir ke rumah. Dan ngobrol dengan H! Harga dirinya jadi jatuh, karena apa yang dulu diceritakan soal H yang kuliah lagi itu tidak terbukti!
Kini, tiba-tiba seorang relasi yang rumahnya di pinggiran kota, menelepon dan minta izin padanya, apakah H boleh bekerja di bengkel motornya!
Alasan teman itu adalah untuk menumbuhkan dan menemukan kepercayaan diri H yang hilang. Teman itu meminta izin agar ia tidak tersinggung, dan karena sangat menghormatinya.
Ia menarik nafas panjang untuk meredakan rasa nyeri di balik dadanya. Ia jadi teringat kembali pada Ayah dari pemilik bengkel itu yang dulu pernah dibantunya. Kini, ganti anaknya yang dibantu.
Menurut teman itu, nantinya H dapat membuka bengkel sendiri. Jika berkenan, dananya itu dapat disalurkan lewat dirinya agar H tidak tersinggung, dan membuka luka lama. Intinya, ia membantu anak sendiri tanpa sepengetahuan H!
Ia terhenyak. Harga dirinya seperti ditampar hingga runtuh berderak. H, anak kebanggan keluarga ingin ngenger kerja di bengkel yang kotor, dan menyimpang dari ijazahnya.
Padahal, jika diminta ia dapat membelikan bengkel usaha beserta peralatannya komplet. Dan… ia sungguh menyesal, ketika H yang hobi ngoprak mesin itu diancamnya untuk ke luar atau pilih sekolah. Lalu, H juga dilarang kuliah ke jurusan mesin.
Ternyata dunia mesin adalah passion H. Seketika itu ia menemukan potongan demi potongan puzzle dalam hidupnya.
Foto : Christian Buehner / Unsplash