Gambar coretan grafis ini mewakili keguncangan emosi manusia yang tidak jelas
Bedanya orang waras dengan orang gila adalah dalam hal rasionalitas. Rasionalitas adalah kenormalan cara berpikir dan cara berperilaku di depan umum. Orang waras malu kalau berjalan kaki di depan umum tanpa busana. Orang waras malu jika berbicara kotor, mengumpat di depan banyak orang.
Sebaiknya, orang gila tidak rasional. Dia tidak bisa membedakan antara memakai celana atau telanjang, apakah normal atau tidak. Ia tidak bisa membedakan berbicara baik maupun bicara ktor atau memaki. Orang menjadi gila karena terjadi gangguan jiwa. Gangguan jiwa disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor yaitu: biologi, psikologis dan sosial. Gangguan jiwa mempengaruhi suasana hati, pola pikir, dan perilaku seseorang secara umum. Kondisi ini biasanya berkaitan dengan masalah dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau masalah keluarga.
Karena terjadi gangguan, orang gila, pura-pura gila atau sedang gila tidak bisa membedakan apakah berbicara ngaco sambil memaki-maki orang itu normal atau tidak.. Pikiran kacau. ruwet membuat dia tidak berpikir secara jernin rasional atau normal. Tak peduli ia berpendidikan doktorandus, ahli filsafat, dosen atau bahkan orang yang ingin diakui sebagai tokoh politik. Orang-orang seperti ini tidak jelas posisinya dan selalu mencari perhatian agar memproleh sesuatu atas ulah, perilaku atau ucapannya.
Tahun 2014, setengah jumlah orang dewasa di Indonesia mengalami guncangan jiwa yang membuat mereka setengah gila. Penyebabnya adalah masalah sosial. Ada seorang calon presiden yang penampilannya seperti orang desa, dianggap tidak pantas menjadi presiden, justru menjadi presiden dengan mengalahkan jagoan mereka yang gagah, kaya berpenampilan kota, tapi kalah dengan orang “ desa”. Mereka tidak terima dan terkena penyakit Deep Hatred ( Kebencian Mendalam) dan mendarah daging. Apapun yang dilakukan presiden terpilih yang mereka benci, yang dalam hal ini bapak Jokowi, mereka benci.
Kemajuan Indonesia saat ini berkat Presiden Jokowi tidak pernah mereka hargai. Bahkan dengan seenaknya, mereka memfitnah, bahkan memaki dengan berbgai kata-kata kotor dan tidak pantas. Tetapi orang bernama Jokowi yang “ setengah dewa” ini tak pernah menanggapi dan tidak pernah peduli apa kata orang. Ia hanya kerja dan kerja. Dikatakan sebagaio presiden tolong bahkan tolol bajingan pun, hanya tersenyum.,
Di medsos banyak perdebatan yang menggelikan tentang bedanya mengkritik dan mengumpat. Kalau orang tidak bisa membedakan kritik dan umpatan, pikirannya sudah tidak waras. Karena kurang waras, ia tak mungkin bisa membaca kamus bahasa Indonesia yang baik dengan benar.
Jangankan orang awam, satu dua orang wartawan saja malah ada yang menyebut bahwa Indonesia beruntung memiliki seorang pengkritik yang suka menggerung saat mengatakan kata-kata kotor kepada kepala negara Republik Indonesia. Orang yang menyebut kepala negara sebagai bajingan dan tolol dianggap orang luar biasa dan pasti masuk surga. Bisa dipastikan surga orang seperti ini adalah berbeda dengan surga kaum sehat jasmani, rohani dan pikiran. Surga orang baik berbea dengan orang tidak waras.
Saya sebenarnya ingin membawa teman wartawan itu ke RS Jiwa, agar jiwanya tenang sebelum berkomentar. Tetapi niat itu urung ketika mengetahui bahwa teman ini mengalami delusi sosial akibat pemilu 2014 dan mengidap penyakit anti Jokowi. Sebuah penyakit yang menjurus pada kerusakan otak dan jiwa seseorang.
Akhirnya saya sadar, selain kurang waras, orang-orang yang tidak bisa membedakan antara kritik dan umpatan itu sebenarnya darahnya tersumbat dengan akar kebencian yang dideritanya. Jika ditanya obatnya apa, saya tidak tahu. Sebab orang-orang seperti ini sesungguhnya tidak tahu apa yang ia ketahui tapi ia menganggap dirinya tahu bahwa ia benar-benar tidak tahu. Jika tidak tahu apa obatnya, mungkin satu-satunya obat adalah kematian. Kematian yang saya dengar adalah jalan keluar dari berbagai masalah manusia.
Orang seperti gambaran di atas adalah orang yang tidak tahu kebaikan seseorang selain orang yang ia sukai. Ada orang yang sangat membenci Jokowi sebab seluruh keluarga dan kelompoknya sangat membenci Jokowi. Tanyakan kepada orang ini mengapa ia tidak suka Jokowi dan ia akan menjawaba tidak tahu. Kalaupun ia tahu, sesungguhnya ia tidak tahu. Orang yang tidak tahu bahwa ia tahu adalah orang dengan kebencian akut.
Sebaik-baik Jokowi, sebaik-baik Jokowi dibanding siapapun dalam menjalankan fungsi presiden, ia tidak pernah melihat kebaikan Jokowi sebab urat kebaikan tertutup oleh urat nadi kebencian. Orang setengah gila yang terguncang akibat penolakan sosial, tak mungkin menghargai pekerjaan dan usaha manusia setengah dewa.
Siapapun yang menyumpahi Jokowi, mengumpat erat-erat kepada Jokowi, akan dijadikan panutan atau orang heibat, sebab orang itu telah mewakili dirinya dalam membenci Jokowi. Bahkan, jika ada orang gila yang telah hilang kewarasannya mengoceh sepanjang jalan dan mengumpat Jokowi sepanjang jalan, orang itu akan dijadikan hero. Pahlawan siang hari yang kesiangan karena tak tahu bedanya siang dan malam.
Jika menghina atau mengumpat dianggap sama dengan kritik, dianggap sebagai hak berekspresi, maka Indonesia akan dikusai oleh orang-orang gila. Dan ketika orang gila ini diberi kekuasaan, maka rumah sakit jiwa akan lebih penuh dibanding penjara. Sebab saat orang ini berkuasa, ia menjadi gila beneran dan menganggap apapun sama asal satu selera, satu tujuan dan satu bahasa, satu agama. Orang gila seperti ini adalah orang yang tahu bahwa dia tidak tahu kalau dia ini gila. Umpatlah orang gila di jalan dan anda akan dianggap gila karena orang itu tidak tahu bahwa ia gila.
Bedanya orang waras dan orang gila adalah bisa membedakan antara kritik dan memaki. Kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat yang disertai data. Kritik biasanya bermuatan hal-hal positif dan berguna untuk perbaikan sesuatu. Sementara menghina dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) diartikan “memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti memaki-maki, menistakan), menjatuhkan nama baik dan kehormatan seseorang. Menghina, mengumpat selalu bernada negatif dengan tujuan untuk merendahkan martabat seseorang dengan motif-motif tertentu.
Bentuk halus kritik adalah sindiran yang halus dan lebih mengena daripada kritik yang terus-terang. Kritik melalui sindiran dengan bahasa kebalikan kata-kata yang bertentangan dengan arti sesungguhnya dari kondisi seseorang disebut satire. Banyak majas seperti ini dalam karya sastra.
“ Heibat dia itu. Sudah pangkatnya doktorandus, dosen kampus, ahli filsafat, mulutnya kotor bak preman pasar Tanah Abang”.