Cerpen Lima Paragraf
Oleh : EFFI S HIDAYAT
Riuh. Gemuruh, lalu hening. Orang-orang
ramai menatapku. Pandangan mereka penuh arti. Berjuta makna. Entahlah. Mungkin iba, kasihan, kagum , atau mungkin iri… ah, apa lagi?
Aku melihatnya berjalan gemulai perlahan-lahan. Bargaun putih dengan untaian kalung mutiara di lehernya yang jenjang. Tatanan rambutnya berbeda dari biasa. Bedak di wajahnya lebih putih. Gincu di bibirnya lebih merah. Bulu matanya lebih berjuntai panjang dan lebat berombak ….
Senyumnya merekah, walau kutangkap pancaran matanya seolah tak yakin. Berulangkali ia nampak berjinjit seperti menghitung langkah di antara derap high heels di tungkai kakinya. Buket lily berwarna lilac, putih, oranye berayun-ayun di dalam genggaman tangannya. Hmm, mungkinkah ia gemetar?
Ow! Aku tak peduli. Begitu ia tiba di hadapanku, kugenggam erat tangannya menuju ke altar. Dengan khidmat mendengarkan pastor membacakan janji perkawinan, “Sampai maut memisahkan ….” Amin.
Mesra, tak sabar segera kucium ia—pengantinku. Sudah kusematkan cincin di jari manisnya yang keriput. Usianya dua kali lipat dari usiaku, 70 tahun. Ha, apa yang salah memangnya? Jatuh cinta bukan dosa, ‘kan?