Bersama Dwiki Dharmawan dalam acara diskusi musik Jumat petang kemarin. LMKN berharap pemerintah turun tangan, negara ikut hadir. Membangun sistemnya dan menyerahkan kepada LMKN, untuk penarikkan royalti para pencipta lagu. “Seperti Gedung Bursa Efek itu. Pemerintah bangun gedungnya saja, setelah itu diberikan kepada komunitas musisi, “ katanya. foto dms
Seide.id. – Seandainya Ahok (BTP) masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta maka musisi dan pencipta lagu Indonesia lebih makmur dan sejahtera. “Cukup ambil royalti dari DKI Jakarta saja, artis kita lebih makmur dibanding artis artis Malaysia, “ tegas Jhony Maukar, Komisioner Bidang keuangan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Lembaga yang menagih royalti dari hak cipta para artis musik, khususnya para pencipta lagu.
Johny Maukar mengungkapkan, menjelang Ahok BTP turun, Gubernur DKI Jakarta itu menjanjikan bahwa perizinan jasa hiburan di ibukota, baik yang baru berdiri maupun perpanjangan wajib mendapatkan rekomendasi dari LMKN, untuk memastikan mereka memberikan royalti dan hak seniman, khususnya penggunaan lagu lagu karya musisi anak bangsa.
“Kami menghadap ke Ahok, antara lain dengan Mas Dwiki Dharmawan ini, “ kata Johny dalam diskusi ekosistem musik digital di Kota Depok, yang diselenggarakan Forum Wartawan Hiburan (Forwan) dan PWI Depok itu.
“Ahok banyak tanya soal legalitasnya, dan kami gelar semua. Pasal pasal hukumnya, legalitas lembaga kami, semuanya. Lengkap. Kami minta dibuatkan Perda, “ kenangnya.
“Tapi Ahok bilang Perda itu ribet, karena musti ada persetujuan DPRD. Mending saya bikin Pergub saja, lebih praktis, “ kenangnya lagi.
Sayangnya Ahok BTP kemudian jatuh, dan rekomendasi LMKN terlantar lagi.
Sebagai lembaga penarik royalti musik, LMKN harus membiaya diri sendiri mengakibatkan mereka harus mengambil ‘fee’ dari royalti yang diberikan user; karaoke, hotel, restoran, kafe, dll – sebelum dibagikan kepada artis pencipta lagu yang karyanya dipakai.
Diketuai Dharma Oratmangun, LMKN atas penunjukkan Kementrian Hukum dan HAM telah mendapat kuasa penuh dari 11 LMK, di antaranya LMK Karya Cipta Indonesia (KCI); LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI); LMK Royalti Anugrah Indonesia (RAI); LMK Pencipta Lagu Rekaman Indonesia Nusantara (PELARI); dll.
Hambatan lain LMKN kini berjuang dari nol lagi, karena berhadapan dengan banyak pemakai lagu (user) tapi enggan membayar royalti. Diungkapkan, ada asosiasi user yang tidak berniat baik dan mencari cari alasan untuk tidak memberikan haknya kepada LMKN. “Bahkan sempat melaporkan LMKN ke KPK dan menuduh kami sebagai lembaga liar, “ katanya.
Jhony Maukar pun menghadap ke KPK dan menjelaskan duduk soalnya dan clear. “Tapi mereka cari alasan lain lagi, menunggu SILM – Sistem Informasi Lagu dan Musik, “ katanya. “Kalau mau fair ya sama sama menunggu; mereka jangan putar dulu lagu lagu yang ada hak ciptanya, “ ujarnya gusar.
Memasuki era teknologi informasi (IT), LMKN telah membangun aplikasi Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) yang diharapkan dapat terkoneksi dengan Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) yang sudah launching beberapa waktu yang lalu.
Dengan SLIM, ada alat yang dipasang, sehingga mendata lagu apa saja yang diputar dan dipakai user.
Jhony Mauhar sebenarnya berharap pemerintah turun tangan, negara ikut hadir. Membangun sistemnya dan menyerahkan kepada LMKN, untuk penarikkan royalti para pencipta lagu. “Seperti Gedung Bursa Efek itu. Pemerintah bangun gedungnya saja, setelah itu diberikan kepada komunitas musisi, “ katanya.
Saat ini SLIM dalam tahap uji coba, dan akan rilis 2023 nanti. Johny masih was-was, entah apalagi alasan user untuk mangkir tidak memberikan royalti kepada artis dan musisi. – dms