Joko Widodo Masih 10 Tahun, Pantai Jakarta Sudah Direklamasi

Jokowi di pantai

Endang Wijaya, pengembang yang sempat dipuji mengubah rawa menjadi perumahan mewah, terpuruk dibui dan namanya cemar hingga akhir hayatnya. foto detik.com

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

PADA tahun 1971, Jokowi Widodo alias Mulyono – yang kelak menjadi Presiden RI dua periode (2014-2024) – masih tinggal di Solo dan baru berusia 10 tahun — ketika kawasan rawa-rawa dan hutan bakau di pantai utara Jakarta direklamasi, ditimbun tanah, pasir dan batu, untuk diubah menjadi komplek perumahan mewah. Proyek perumahan yang sampai sekarang dikenal sebagai Proyek Pluit.

Adalah Endang Wijaya alias Yap Eng Kui alias A Tjai, pengusaha dari Sei Rampah, Serdang Bedagai – Sumatera Utara, yang melakukan reklamasi di kawasan Pluit itu. Sebagai Direktur PT Jawa Building Indah, A Tjai, 46 tahun, ditunjuk BPO (Badan Pelaksana Otorita) Pluit membangun perumahan di kawasan Proyek Pluit, Jakarta Utara.

Gubernur Jakarta masa itu, Bang Ali Sadikin memberi izin pengembang (developer) PT Jawa Building Indah yang dipimpin oleh Ko’ Yap – panggilan akrab Yap Eng Kui alias A Tjai – sebagai kontraktor tunggal oleh BPO Pluit sejak tahun 1971 untuk mereklamasi tambak-tambak ikan di Jakarta Utara.

Ko’ Yap ditunjuk menggarap Pluit, setelah sukses merenovasi kawasan pertokoan Pasar Baru.

Dalam kerja sama itu, PT Jawa Building Indah berkewajiban melaksanakan proyek dan menyediakan modal serta prasarananya. Sedangkan BPO Pluit menyediakan tanahnya. Dari hasil penjualan rumah-rumah yang akan dibangun itu nantinya 5 persen menjadi bagian BPO Pluit.

Proyek itu berujung skandal, karena Ko’ Yap Eng Kui menerima kredit puluhan miliar dari Bank Bumi Daya (BBD) secara tidak wajar dan kemudian mengalami gagal bayar.

Selain itu, gelontoran kredit dari BBD digunakan juga untuk membiayai proyek lain. Kasusnya terbongkar setelah heboh dan Kepala Kopkamtib Laksamana Sudomo turun tangan. Akibatnya Ko’ Yap ditahan sejak 13 September 1977 dan menjalani sidang hingga 132 kali.

Pada tahun 1978 peradilan “Kasus Pluit Endang Wijaya alias A Tjai” mengungkap kegegeran, lantaran menyeret nama sejumlah pejabat DKI dan petinggi di Bank Bumi Daya (BBD). Sebagai pengembang, A Tjai ternyata royal menebar sogokan ke sana sini dan berujung ke penjara.

Dalam usaha memuluskan proyek perumahan Pluit itu, terungkap, A Tjai memalsukan akta tanah seluas 178,12 ha, menyuap beberapa pejabat pemerintah DKI Jaya, Bank Bumi Daya, dan instansi pajak, untuk mendapat kredit bank.

Dari file berita ‘Sinar Harapan’ edisi 21/09/1984, terungkap, Direktur Kredit BBD S. Natalegawa disogok dua rumah mewah di Taman Pluit Kencana dan masing-masing sebuah di Jalan Samudra III, Pluit Samudra Raya dan di Pluit Putra Kencana. Tak lama kemudian, R. S. Natalegawa pun diadili dengan tuduhan korupsi dan manipulasi kredit sampai puluhan milyar rupiah.

Sedangkan Direktur BBD yang lain, Direktur Bidang Pengawasan, mendapat sogokan uang Rp 20 juta dan 5000 m2 tanah di Cilandak. Direktur Kredit BBD, Martoyo Koento SH, Direktur Bidang Pengawasan dan RAB Massie sebagai Dirut BBD Oleh Atjai pejabat2 BBD dengan berbagai cara juga diberi hadiah rumah di Jl Pluit Samudra Raya.

Selain petinggi Bank Bumi Daya, Walikota Jakarta Utara Dwinanto Prodjosupadmo yang menjadi Ketua BPO Pluit ikut diseret ke pengadilan di Mahkamah Militer Tinggi II Barat pada tahun 1983 lalu. Diketahui, Dwinanto yang selalu memberikan kesempatan pada Ko’ Yap untuk mencari keuntungan dengan mempergunakan nama Pemda DKI hingga akhirnya menimbulkan kerugian-kerugian kepada negara. Akibatnya, Dwinanto pun dicopot dari jabatan Walikota Jakut, diadili dan dijatuhi hukuman 2 tahun 4 bulan penjara.

Dirut Pengembang Endang Wijaya alias A Tjai royal membagi hadiah dalam bentuk rumah, mobil, tanah dan perjalanan keluar negeri, selain honor kepada beberapa pejabat Pemda DKI antara Rp 50.000 sampai Rp 100.00 setiap bulannya. Angka yang besar di tahun 1970an, mengingat gaji PNS masih berkisar Rp.1.500 s/d Rp3.000 per bulan pada masa itu.

Ketua Harian BPO Pluit, Ir. Shafrin Manti, misalnya – di samping mendapat honor tetap tiap bulan – juga mendapat mobil Mercy, organ Yamaha (seharga Rp 2,45 juta), perbaikan rumah di Bendungan Hilir sampai Rp 3 juta, sebuah rumah di Pluit Kencana (Rp 60 juta) dan televisi berwarna merek Siera 26′.

Rekan Shafrin, Kepala Bidang Umum BPO, Heru Suko SH, juga mendapat hadiah sebuah Mercedes, Honda Civic dan dua buah rumah di Pluit Utara dan Selatan (masing-masing seharga Rp 35 dan Rp 30 juta). Itu, antara lain, untuk jasanya memberi surat keterangan sebagai “Kepala Pelaksana Pembangunan Perumahan Otorita Pluit” bagi Endang Wijaya.

Dua buah rumah di Pluit Kencana dan Pluit Selatan (masing-masing seharga Rp 35 juta), mobil Datsun dan organ Yamaha (Rp 2,18 juta) dibagikan Endang juga kepada Ir. Armantani, yang menjabat sebagai Kepala Bidang Tehnik BPO.

Total ada 12 rumah, 7 mobil, perabot, dan uang yang dijadikan sogokan untuk memuluskan proyeknya.

Gambaran perumahan mewah di kawasan Pluit . foto dok rumah.com

SETELAH menebar sogokan, Endang Wijaya alias A Tjai banyak melakukan penyimpangan atas perjanjian kerja yang dilakukan dengan bekerja sama para pejabat BPO Pluit sendiri maupun dengan pihak BBD yang menyediakan kredit untuk pembangunan proyek raksasa tsb.

Bahkan terungkap pula sebagian dari kredit untuk Pluit itu ternyata dipergunakan Ko Yap untuk proyek-proyek lain dalam pengembangan usahanya di bidang perkayuan. Padahal, Bank Indonesia (BI) masa itu, melarang pemberian kredit untuk proyek-proyek perumahan ‘real estate’. Tokh, Direktur Kredit BBD R.S. Natalegawa tetap menyalurkan kredit kepada A Tjai.

Sidang juga mengungkapkan, Ko Yap bisa ikut rapat Direksi BBD dalam menentukan kreditnya, hal yang jelas merupakan pelanggaran karena rapat tsb adalah intern direksi.

Endang Wijaya juga selaku pengembang mendapat keringanan pajak dengan menggunakan neraca BPO Pluit. Saat memasukan mesin keruk dari Singapura seakan dimasukkan oleh BPO Pluit untuk kepentingan Pemda DKI. Tetapi nyatanya mesin bernilai milyar rupiah itu adalah untuk kepentingan PT. Jawa Building Indah milik A Tjai. Dari bea masuknya itu, negara dirugikan sebesar Rp 340 juta, karena mendapat pembebasan dari Ditjen Bea Cukai sesuai permohonan Gubernur DKI, Ali Sadikin (saat itu-pen).

Pada tahun 1972, Endang Wijaya berhasil mendapat kredit dari Bank Bumi Daya sebesar Rp 458 juta. Tahun berikutnya, 1973, memperbarui kreditnya menjadi Rp 2 miliar lebih, lalu meningkat menjadi Rp7 miliar (1974), Rp 10 milyar lebih (1975) dan Rp 12 miliar lebih (1976).

Bunga pinjaman pertama saja belum dipenuhi, pinjaman berikut tetap diberikan dengan jaminan yang tidak jelas. Sebagai imbalan kecuali rumah mewah di Pluit, Atjai telah mengirimkan peralatan2 beratnya memperbaiki rumah R.S. Natalegawa di luar kota dan bantuan lainnya bersifat barang maupun sejumlah uang.

Pengadilan akhirnya menghukum R. S. Natalegawa selama 2,5 tahun karena terbukti bersalah atas tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung menguatkan dengan menghukum Natalegawa selama 2,5 tahun

ENDANG WIJAYA sendiri, sejak 13 September 1977, ditahan oleh Kopkamtib. Namun sempat dua tahun bersama istrinya, Mariani, dan ibunya, Go A Khong, serta neneknya, Go A Eng, menghuni rumah kontrakan di Jalan Kusumaatmadja 79, Jakarta. Setelah dihebohkan media, A Tjai kemudian diciduk Laksusda Jaya dan dikembalikan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, 1980.

Pada 6 Juli 1981, setelah menjalani sidang yang ke 132 kalinya, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun atas diri Endang Wijaya karena terbukti menyalahgunakan kredit Bank Bumi Daya (BBD) yang mengakibatkan negara rugi Rp 23 miliar.

Endang Wijaya naik banding ke Pengadilan tinggi tetapi memperkuat putusan sebelumnya diperkuat. Hingga kasasi ke Mahkamah Agung namun tanggal 19 September 1983 majelis tetap menghukumnya penjara 10 tahun.

Setelah upaya hukum habis, Endang Wijaya mengajukan permohonan pengampunan hukuman kepada Presiden Soeharto. Lagi lagi Presiden menolak grasi Endang Wijaya.

Endang Wijaya, pengembang yang sempat dipuji mengubah rawa menjadi perumahan mewah, terpuruk dibui dan namanya cemar hingga akhir hayatnya.

Meski demikian, proyek perumahan Pluit tetap diteruskan dan jadi hunian mewah hingga sekarang. Pada masa baru selesai dibangun, unit rumah kecil di sana dijual Rp 7 – 8 juta dan dan sedang berkisar Rp 20 – 30 juta. Bandingkan dengan Perumnas Depok II Timur, yang dijual Rp600 ribu per unitnya.

Kini nilai rumah di Pluit melesat hingga puluhan miliar per unitnya.

Pada masanya, pejabat yang ditindak, ditahan, dan diadili hingga masuk bui – akibat skandal itu – sebatas pengembang, kepala otoritas /walikota, direktur bank, kepala proyek dan pelaksana lapangan lainnya. Tidak sampai gubernur. Apalagi presiden. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.