ERIZELI JELY BANDARO
Pada musim semi tahun 2017, Presiden Jokowi terbang ke Beijing dalam rangka KTT Belt and Road Forum di China National Convention Center. Yang hadir dalam KTT itu ada 29 kepala negara/kepala pemerintahan. Setelah acara itu, diadakan pertemuan billateral antara Jokowi dan Xijinping. Pada pertemua itu, Jokowi juga minta harus ada action plan. Jadi tak hanya sekedar retorika politik. Xi setuju dan bersedia memberikan hibah sebesar Rp. 150 Miliar untuk biaya studi kelayakan beberapa proyek infrastruktur terkait dengan program Belt and Road initiative (BRI). Dalam pertemua itu, Jokowi tegas mengatakan hal prinsip yang terkait dengan kepentingan nasional.
Tidak banyak yang diminta Jokowi. Apa saja itu.? Pertama, investor China harus menggunakan tenaga kerja asal Indonesia. Kedua, perusahaan yang berinvestasi harus memproduksi barang yang bernilai tambah (added value). Ketiga, perusahaan asal China wajib melakukan transfer teknologi kepada para pekerja lokal. Keempat, Pemerintah Indonesia memprioritaskan konsep investasi melalui business to business (B2B), bukan government to government (G to G). Artinya tidak ada jaminan negara lewat APBN. Kelima, jenis usaha yang dibangun harus ramah lingkungan.
Sikap China sendiri dalam proyek BRI juga sama dengan Jokowi yaitu B2B. Artinya secara politik pemerintah China tidak terlibat langsung dalam skema pembiayaan. Itu diserahkan kepada korporat , yaitu BUMN CHina sendiri. Jadi MOU antara China dan Indonesia yang ditandatangani dengan paket pendanaan puluhan miliar dollar memang satu napas.
Namun apa yang terjadi ? Di penghujung kekuasaan Jokowi pada periode pertama, Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar 17,7 Miliar USD atau setara dengan 248,4 Triliun dengan kurs 14.000. Lebih spesifik di kelola Pemerintah sebesar Rp. 22,8 Triliun dan BUMN sebesar 225,6 Triliun. Itu setara dengan 42% total anggaran BRI untuk Indonesia.
Kemudian, Indonesia juga diketahui telah menerima pinjaman senilai US$ 4,42 miliar atau setara Rp 63 triliun pada periode yang sama melalui skema Official Development Assistance (ODA), serta pinjaman melalui skema Other Official Flows (OOF) sebesar US$ 29,96 miliar atau setara Rp 427 triliun. Indonesia termasuk 10 negara penerima pinjaman terbesar dari Tiongkok melalui dua skema tersebut. Kan konyol.
Jadi yang dapat saya simpulkan bahwa proyek BRI dalam skema B2B tak jalan sepenuhnya. Artinya, skema soft loan yang disamarkan lewat BUMN namun negara ikut menjamin. Memang skema itu lebih mudah. Karena tidak dikontrol oleh mitra dari China. Mudah dibancaki. Tetapi yang menanggung resiko Mark up adalah negara dan itu berdampak kepada tekanan neraca pembayaran berupa cicilan dan bunga. Apa artinya? Mental korup.
Rakyat dengan tulus mendukung Jokowi. Kadang kasihan dengan Jokowi yang kerja keras siang malam. Tidak ada untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Tetapi jajarannya tidak semua amanah. Semoga penyelesaian ini belum terlambat. Masih ada 3 tahun lagi untuk berbenah. Kalau pejabat tidak mampu negosiasi dan tidak bisa profesional memenuhi stadar kepatuhan proyek B2B, sebaiknya mundur sajalah.
ARTIKEL MENARIK LAIN: