Apakah karena ada bencana di satu wilayah, semua aktifitas di ibukota dan daerah lain harus berhenti? Sungguh sangat tak logis. Apakah hotel, karaoke, lokasi hiburan juga libur sebulan untuk menunjukkan duka karena ratusan korban gempa di Cianjur. Faktanya dari panggung relawan di Gelora Senayan dikumpulkan sumbangan ratusan juta dan langsung dikirimkan ke lokasi. foto ist
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
INSINYUR JOKO WIDODO bukan hanya Presiden Republik Indonesia, wakil bangsa Indonesia di dunia luar, sebagaimana terlihat di forum G20 – melainkan bapak bagi seluruh republik ini, setidaknya selama 10 tahun terakhir.
Selain itu, dia juga suami dari Iriana, ayah dari Gibran, Kahiyang dan Kaesang, mertua dari Bobby Nasution, kakek dari Jan Ethes dan Sedah Mirah, kader PDIP Megawati Soekarnoputri, warga kota Solo, tokoh kehormatan di berbagai suku dan wilayah, dan figur pemersatu bagi para relawan pendukungnya.
Jadi apa masalahnya jika para relawan membuat acara untuk bertemu dengan tokoh yang didukungnya, di Stadion Gelora Senayan, Sabtu 26 November 2022 lalu?
Kita, saya khususnya – tak habis mengerti mengapa para petinggi PDIP memberi reaksi negatif pada acara Nusantara Bersatu di Gelora Senayan, dengan segala dalihnya?
Hal hal yang tak relevan dipertanyakan oleh PDIP : apa urgensinya? Momentnya tidak tepat, mendegredasikan keberhasilan Jokowi, mengerdilkan kepemimpinan Jokowi usai memimpin Konferensi Tingkat Tinggi G20, dan seterusnya..
Intinya : Nyinyir! Baper!
Apa yang dianggap “tidak tepat” bagi PDIP, belum tentu tepat bagi relawan Jokowi. Doa istigozah boleh jadi dianggap “tidak tepat” bagi warga Muhamadiyah. Tapi penting bagi kaum Nahdliyin di Nahdlatul Ulama. Setiap kelompok, komunitas tentulah punya “moment urgen”nya masing masing.
Tak perlu ditanggapi reaksi kubu oposisi dan politisi dari pihak anti Jokowi. Melekat dalam diri mereka “ahlak politik” kedengkian, yang menyalahkan apa saja yang dilakukan Presiden Jokowi. Di mata mereka Jokowi selalu salah dan salah 100 persen. Jokowi negatif di mata mereka. Sudah lama mengembangkan kampanye “2019 Ganti Presiden”. Gagal, tapi tetap usaha. Memanfaatkan setiap kesempatan.
PDIP menyebut bahwa relawan seharusnya sensitif dengan kondisi sosial politik kita terkait dengan bencana di Cianjur, Jawa Barat. Itu alasan mengada ada. Sebab, Jokowi sudah dua kali mengunjungi lokasi bencana dan sudah mengerahkan menteri menteri terpentingnya di sana; Basuki Hadimulyono, Prabowo Subianto, Mahfud MD, Tri Risma Harini, Erick Thohir, dll, tokh mereka tak mau mengerti.
Setelah kepala negara dan pejabat pusat berkunjung, bukankah selanjutnya BNPB, jajaran kementrian sosial dan aparat lokal serta para dermawan yang melanjutkan tugas, melayani para korbannya?
Apakah karena ada bencana di satu wilayah, semua aktifitas di ibukota dan daerah lain harus berhenti? Sungguh sangat tak logis. Apakah hotel, karaoke, lokasi hiburan juga libur sebulan untuk menunjukkan duka karena ratusan korban gempa di Cianjur.
Sebagaimana diucapkan ketua penyelenggaranya, Silfester Matutina acara temu relawan sudah dipersiapkan jauh jauh hari. Untuk acara yang mengerahkan massa hingga 150 ribu orang dan menggunakan area sebesar Gelora Bung Karno, tak mudah membatalkannya.
Faktanya dari panggung relawan di Gelora Senayan dikumpulkan sumbangan ratusan juta dan langsung dikirimkan ke lokasi.
Ini bukan respon telat pada acara Gelora Senayan, melainkan respon pada opini yang berkembang di media, kemudian – terkait event itu. Opini melawan opini nyinyir.
MINGGU minggu ini, memang banyak politisi kebakaran jenggot dan sakit gigi, gara gara aksi Jokowi. Penolakan menghadiri ultah Nasdem, penyebutan rambut putih, wajah berkerut, dan pertemuan dengan relawan, menambah sakit gigi para politisi.
Dari kubu Nasdem ada tercetus pernyataan bahwa partai dan para politisi bukan bawahan Jokowi. Justru Jokowi terpilih karena partai dan politisi. Maka, tak ada yang salah, jika mereka mendukung capres dari kubu lainnya, meski masih kerja untuk Jokowi.
Sungguh tak bermoral. Tak ada akhlak. Masih main proyek di pemerintahan Jokowi, tapi “ngamen” di calon lain, yang berseberangan dan “antitesa Jokowi”.
Dari kubu PDIP ucapannya senada. Tanpa peran partai, Jokowi mustahil ke istana dan memimpin pemerintahan. Sehingga Jokowi harus patuh pada partai.
PDIP lupa, bahwa orang memenangkan Jokowi, tidak semata karena PDIP. Justru mereka memilih PDIP demi memenangkan Jokowi. Terbukti, ketika berkali kali mencalonkan Megawati, gagal. Tersingkir sebagai kubu oposisi, banyak puasa.
Kini setelah Jokowi terpilih, mereka lupa diri. Sok penting. ***