Oleh HARRY TJAHJONO
Ibarat pohon yang terus bertumbuh tinggi, sejak masih Walikota Solo Jokowi sudah sering diterpa angin yang merundung kepemimpinannya. Disebut sebagai “walikota bodoh” oleh Gubernur Jateng, misalnya.
Marahkah Jokowi? Enggah tuh.
Justru, “Iya. Saya memang bodoh. Masih perlu belajar banyak,” katanya santai.
Ketika dicalonkan jadi Gubernur DKI, anginpun semakin kencang menerpa diri dan bahkan keluarganya. Rhoma Irama, misalnya, saat ceramah di Masjid Al Isra, Tanjung Duren, 29 Juli 2012, secara eksplisit menyebut Jokowi muslim tapi latar belakang keluarganya non muslim.
Marahkah Jokowi? Enggak tuh.
Jokowi juga mengaku, “Tidak tersinggung dengan ceramah Bang Haji Rhoma Irama. Kan saya penggemar berat beliau,” katanya saat lesehan dengan pendukungnya sambil memutar lagu Rhoma Irama yang berjudul “135 Juta Penduduk Indonesia” tentang kebhinekaan di Indonesia disertai pesan agar antara suku, agama, etnis saling menghormati dan menghargai.
Bahkan Ibunda Jokowi, almarhumah Hajjah Sujiatmi Notomihardjo yang mendengar itu dari tetangga sepengajian, saat itu bulan Ramadhan, hanya mengaku kaget, merasa difitnah tapi, “Saya nggak marah, nggak sakit hati, karena bisa membatalkan puasa,” katanya lembut.
Puncaknya, setelah terpilih menjadi Gubernur DKI, pada malam Tahun Baru 1/1/2014, di panggung Jakarta Night Festival, Jokowi berbagi kegembiraan dalam duet dengan Rhoma mendendangkan “Darah Muda”.
Ketika dicalonkan dan sampai sekarang setelah menjadi Presiden, angin yang menerpa Jokowi tak kunjung reda, bahkan kadangkala membadai. Hembusan fitnah keturunan PKI, ujaran kebencian, tudingan antek asing aseng serta isu murahan, dengan gencar ditebar politisi ganjen dan pesohor ngepop negeri ini.
Marahkah Jokowi? Enggak tuh.
Hal itu rupanya membuat lawan politik yang mentahbiskan dirinya sebagai oposisi menjadi hilang akal, terprovokasi kebencian dan kesesatan nalar mereka sendiri. Mereka yang bergelar filsuf, profesor, akademisi, politisi senior dan atribut mentereng lainnya, tergerus ketololannya sendiri sehingga tak mampu menyampaikan informasi dan pendapat yang adil—suatu hal yang kita tahu adalah cerminan karakter dan integritas mereka yang bersedia jujur memihak obyektivitas. Mereka turun derajat menjadi sekadar juru masak politik. Martabatnya merosot selayak pemulung hal remeh temeh sebagai bumbu politik untuk digoreng secara cepat agar bisa disajikan panas-panas.
Harus diakui, Rocky Gerung, Refly Harun, Rizal Ramli, Amien Rais dan Fadli Zon adalah sejumlah juru masak politik terkemuka yang paling intens dan konsisten menggoreng isu politik. Mereka mahir mereduksi apapun yang dicapai pemerintah maupun yang dikerjakan Jokowi. Mereka piawai meramu argumentasi yang seolah-olah benar karena masuk akal dan logis. Bahkan itupun masih mereka anggap perlu disedapkan dengan olok-olok tampilan fisik, keluarga dan sejenisnya.
Marahkah Jokowi? Enggak tuh. Tepatnya, perkara rendah begitu tidak digubris Jokowi.
Sepanjang menerpa diri dan keluarganya, mengkritisi kebijakannya, Jokowi dengan sabar, tepatnya ikhlas, menghadapinya. Terkecuali jika ada upaya yang merongrong eksistensi NKRI, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, Jokowi tidak segan menunjukkan kemarahan dan kuasanya sebagai Presiden Republik Indonesia. Pembubaran FPI, misalnya, adalah salah satu tindakan nyata Jokowi terhadap mereka yang merongrong eksistensi NKRI, Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Hal itu, hemat saya, akan berulang jika gerakan menurunkan Jokowi tetap dilaksanakan secara inkontitusional. Jika tidak ditindak aparat, bukan tidak mungkin akan berhadapan dengan rakyat pemilih Jokowi.
Bagi saya yang rakyat biasa, kesanggupan dan kesiapan seorang pemimpin menghadap badai dari luar dirinya, adalah risiko yang harus ditanggulangi semua pemimpin. Saya justru terkesan oleh kesanggupan Jokowi menentang angin kehendak pendukungnya yang mendorongnya untuk membalas lewat somasi, tuntutan hukum, sedikitnya dengan kemarahan, atau mendorongnya untuk menjabat Presiden untuk ketiga kalinya. Jokowi memilih tidak melakukannya. Jokowi menentang angin.
Saya jauh lebih terkesan lagi dengan kesanggupannya menentang sekaligus meredam angin yang mendera emosi dan egonya, yang menguji kesabarannya. Dan Jokowi bisa membuat semuanya itu selesai di dalam dirinya sendiri. Itu mengingatkan saya pada Winston Churchill yang mengatakan, “Layang-layang naik karena menentang angin. Bukan mengikutinya.”
Jokowi, kiranya membuktikan aksioma Churchill. Padahal, menurut Pak Bandi, teman sepermainan Jokowi semasa kanak di Solo, waktu masih kecil Jokowi tidak pernah bisa menaikkan layang-layang. *