Diskriminatif, Anak Belajar Dari Mana?

Judging, Diskriminatif, Anak Belajar Dari Mana?

Anak tak terlahir dengan rasa benci. Dia akan melihat apakah kita memberi komentar buruk akan penampilan, sikap, perkataan seseorang dengan referensi karakter suku bangsa tertentu, status sosial ekonominya, maupun cerdas tidaknya seseorang.

“Eh, kok kakimu jelek begitu. Jalan aja miring-miring!” Komentar yang diberikan ketika seorang anak yang memang polio sejak lahir datang ke sekolah Aga.

Di lain momen.

“Bu, Dio nggak ngerjain apa-apa nih. Kamusnya diliatin aja, Bu.” Seorang anak mengadu kepada guru tentang temannya yang kebingungan diberi tugas mencari arti kata di dalam kamus. Anak itu tidak tahu, kesulitan mengeksplorasi kamus yang dimiliki temannya adalah salah satu tantangan anak disleksia.

“Pak, sini, Pak … tolongin Lena. Dia digangguin karena ngomongnya gagap.”

Atau

“Ih, kamu autis banget sih kayak Dodo. Liatin hp mulu, nggak denger dipanggil dari tadi.”

Yang kerapkali terjadi,

“Udah item, bodoh lagi. Nggak cocok kamu sekolah di sini.”

Celetukan sehari-hari itu tampak biasa, walau terakhir paling ekstrim terkait body shaming. Kelihatan tak ‘bahaya’ atau sering tak dianggap sebagai perundungan. Namun, perkataan itu jelas merupakan sikap membeda-membedakan, menganggap aneh, buruk, rendah; atau dengan kata lain diskriminatif.

Bentuk sikap dan perilaku yang bertendensi diskriminatif sungguh beraneka rupa. Bukan hanya olok-olok menyebutkan kekurangan atau perbedaan anak, berulangkali, disengaja, dan atau direncanakan; melainkan juga :

• Memperlakukan anak A berbeda dengan yang lainnya. Misal dengan tidak pernah mengajaknya bermain, tidak mau dijadikan dalam sebuah kelompok tugas atau belajar

• Bersikap kasar dan penuh kebencian dengan atau tanpa alasan

• Tidak menganggap, tidak mau, dan tidak bisa menghargai apapun yang dilakukan anak tersebut

• Membiarkan anak itu sendirian, seperti menganggapnya tidak ada

Bila kita perhatikan bentuk tindakan pada poin-poin di atas, kondisi seorang anak ‘ditinggalkan’ dari lingkungan sebaya itu, tak hanya disebabkan kondisi kebutuhan khusus, kecacatan fisik saja, atau menjadi minoritas dalam lingkungan mayoritas. Namun, termasuk juga karakter dan sifat anak yang BERBEDA.

Telah berulang generasi ke generasi, manusia dicekoki hanya hal yang positif, pada kedudukan tertentu, menjadi mayoritas, serta tidak berkekurangan fisik dan mental; sebagai hal yang common. Wajar, normal bahkan sempurna.

Sehingga paham itu lama kelamaan tertanam dengan baik, menjadi template pemikiran seseorang. Secara sederhana, kalau dia tidak memenuhi kriteria kenormalan, apalagi kesempurnaan, seseorang dikategorikan BERBEDA.

Sedihnya, tanpa sadar pun kita mencontohkan sikap itu kepada anak-anak, tanpa berdiskusi lebih dahulu, apalagi membicarakan ada kondisi khusus yang sebagai manusia, kita tak bisa mengubahnya.

Keengganan membicarakan perbedaan bersama anak, sesungguhnya lebih dari sisi orang tua saja. Anak-anak, bahkan sejak bayi sesungguhnya sudah belajar membeda-bedakan. Mulai dari kesukaan akan makanan, mainan, atau siapa saja orang di sekitar yang menurut mereka asik diajak berinteraksi. Termasuk mengapa makanan A lebih enak dibanding B. Atau, boneka kakak lebih bagus dari bonekaku.

Keengganan orang tua yang seolah menabukan mendiskusikan perbedaan malah tanpa disadari mendorong anak untuk melihat perbedaan sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan DASAR penilaian sesuatu. Lebih penting dari apa kemampuan, bakat, minat bahkan sikap perilaku baik seseorang.

Ternyata efeknya kemudian bagi anak setara besarnya dengan akibat yang diterima anak yang mendapat perlakuan diskriminatif.

Anak korban tindakan diskriminasi, umumnya :

• Sedih dan tertekan

• Merasa kesepian, dan menyalahkan diri mengapa berbeda

• Merasa malu atas diri sendiri

• Selalu cemas diolok-olok, diejek maupun dipukul anak lain

• Tidak mampu berkonsentrasi pada apapun yang dikerjakan

• Merasa marah dan selalu ingin melawan, sehingga mungkin menjadi agresif

• Putus asa, merasa tak ada harapan untuk berteman

Sungguh perlu waktu dan terapi khusus bagi anak yang mendapat perlakuan diskriminatif untuk bisa ‘lepas’ dari trauma akan perlakuan buruk teman-temannya.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi hal ini. Apa cukup hanya memberi teladan bahwa kita orang tuanya tidak bersikap diskriminatif juga.

Beberapa catatan di bawah ini semoga bisa dijadikan panduan.

• Percakapan isu ini sebaiknya tidak di-setting. Lihatlah kejadian atau berita di koran, maupun media sosial, lalu jadikanlah bahan diskusi spontan. Kasus perundungan mungkin bisa menjadi bahan diskusi, tetapi perhatikan juga usia anak. Hindari fokus hanya di bentuk kekerasan yang terjadi.

• Kadang, karena pengalaman orang tua yang tak baik tentang sikap diskriminatif (mungkin pernah jadi korban semasa kecil) menjadikan isu ini sebisa mungkin dihindari untuk dibahas. Padahal sesuai poin pertama, sesering kita berdiskusi spontan, situasi akan makin kondusif dan membuat anak belajar.

• Sesuaikan level diskusi dengan usia anak. Sebaiknya juga tidak membombardir mereka dalam sekali diskusi. Makin anak-anak bertumbuh, tentu level diskusi akan makin mendalam.

• Kesiapan orang tua merespons pertanyaan anak tentang perbedaan setiap orang yang makin baik, akan membuka peluang untuk berdiskusi. Dibanding kita berusaha menghindar, yang menimbulkan kesan perbedaan adalah hal yang TABU.

• Bantulah anak memahami nilai keberagaman. Beragamnya pengalaman, dan cara pandang akan membuat kreativitas tak terbatas, dan memperkaya setiap orang memahami dunia. Dengan bersikap membeda-bedakan, selain ada perasaan negatif, sesungguhnya seseorang kehilangan kesempatan untuk belajar tentang keberagaman. Mengajak anak mengunjungi festival yang menggelar hal-hal dan atraksi beragam, akan memberi pengalaman pada anak, bahwa ada masyarakat lain, ada kebutuhan khusus, dll

• Diskusikan dengan anak kondisi di mana sesuatu hal hanya dinilai dari apa yang dilihat atau didengar saja, tanpa paham fakta sebenarnya. Ajarkan juga bagaimana mencari fakta itu dengan bantuan referensi baik buku maupun laman pencarian internet

Dan, tentu saja yang terpenting adalah bagaimana diri kita sendiri tidak judgmental maupun diskriminatif terhadap sekitar.

Anak tak terlahir dengan rasa benci. Dia akan melihat apakah kita memberi komentar buruk akan penampilan, sikap, perkataan seseorang dengan referensi karakter suku bangsa tertentu, status sosial ekonominya, maupun cerdas tidaknya seseorang.

Termasuk juga mereka belajar bagaimana lingkungan tempat orang tua berinteraksi. Apakah hanya dari kalangan tertentu, agama yang sama, latar belakang pendidikan dan status sosial ekonomi yang sama, ATAU sangat beragam?

(di sini kita tidak membahas kasus yang situasional, di mana kondisi lingkungan yang toksik atau memberi trauma kepada orang tua, sehingga mereka sengaja mengarahkan anak ke lingkungan yang berbeda, meski lebih seragam misalnya)

Sungguh proses yang ‘menarik’ dan menantang bagi orang tua. Saya pun yang menuliskan ini, belum sukses untuk lepas dari sikap judgmental kepada orang lain, meski bukan karena dia berbeda dari sisi SARA atau punya kebutuhan khusus. Namun, biasanya mudah terpantik karena orang tak taat aturan atau bersikap semena-mena kepada orang lain.

Tak apa mencontohkan bahwa bersikap kritis boleh-boleh saja. Hanya saja, bila komentar saya sudah dibumbui dengan, ‘kayak nggak sekolah aja kelakuannya’, atau ‘orang kaya baru sih, jadi sombong sekali’, ‘wah, orang dari situ biasa pura-pura miskin dan minta mulu’, anak pun akan melihat bahwa saya tak ada bedanya dengan orang yang suka membeda-bedakan.

Sungguh, kita perlu belajar terus untuk menjadi orang tua.

Berbagi Virus Kebaikan  

Frugal Living, Tampil Daring dan Nilai Parenting.

Parenting 101: Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta