Cerpen – Juned selalu resah jika membuka media sosial yang diberi nama Facebook. Sejak ia bergabung menjadi anggota dari sarana pergaulan internasional besutan si adik Mark itu, tak ada kesibukan yang paling mendominasi selain memandang komentar yang ditayangkan di sana sekaligus menulis kisahnya dengan rentang waktu setiap satu jam sekali. Ada ketertarikan militan yang mengubah pola pikirnya sejak ia menjadi bagian dari media yang menurut anak-anak milenial sudah menjadi milik kaum usia tiga puluhan ke atas. Mereka yang berusia di bawah itu, lebih suka berkecimpung di media sosial lain yang disebut Instagram, lebih modis dan new era, begitu pendapat mereka.
Tapi bagi Juned, media sosial yang diikutinya, telah membuat ia merasa lebih milenial ketimbang para lelaki paruh baya yang ada di kampungnya. Pria dewasa di sana, sepulangnya dari sawah, memilih menutup diri dengan berdiang di depan perapian dapur sang istri sembari meneguk kopi panas dan sepiring pisang atau ubi rebus untuk menahan udara dingin. Atau mereka lebih suka bercengkerama dengan sang istri, anak-anak dan cucu sembari memikirkan tanaman apa lagi yang harus ditanam usai memanen padi, karena jika tidak begitu, menurut para tetua desa, tanah itu mulai berkurang kesuburannya karena kehabisan gisi.
“Menulis dan membaca semua kisah di Facebook, itu pekerjaan yang sia-sia, apa saja bisa ditulis di sana, mulai dari kemiskinan, kekayaan, kecantikan, politik, caci-maki, penipuan, pencemaran nama baik, perselingkuhan, sampai kematian pun ada. Jangan-jangan nanti jika kau mati pun, kau akan ditulis di sana. Aku malas, untuk apa membuka aib dan rahasia kita lalu diketahui banyak orang? Bikin malu saja,” ucap Kang Eman, yang pernah menjadi Kepala Desa di kampungnya saat mereka duduk-duduk di saung miliknya.
“Oh, jadi Kang Eman sudah menutup akun Fb Akang?” tanya Juned.
“Sudah. Sebulan yang lalu.” Sahutnya.
“Kenapa?” kejar Juned.
“Malas, selingkuhanku jelek-jelekin aku di Fb.” katanya ringan.
“Untung istriku si Konah buta huruf, dia tidak ngerti main Fb, jadi aku aman. Tapi anak-anakku tidak. Jadi, daripada viral lalu mereka mengadu pada Ibu mereka, mending kututup akun Fb-ku.” Lanjutnya.
Juned tidak memperpanjang pertanyaannya lagi. Menurutnya, hal-hal berkaitan dengan libido, syahwat yang menggebu terhadap lawan jenis, bukan lagi terjadi pada manusia remaja yang baru pertamakali merasakan jatuh cinta. Lelaki gaek yang akan memasuki usia manula pun, mengalaminya. Tidak hanya lelaki paruh baya yang mulai tua, perempuan pun demikian. Media sosial sudah menjadi sarana yang mengubah peradaban dari keterbelakangan teknologi menggiring manusia ke kemajuan pesat yang berimbas pada segala sisi kehidupan. Permainan rasa kian menguat, dia menggiring ke pemikiran yang bisa mengarah ke ekstrim kiri maupun kanan. Keduanya membutakan logika dan menjadikan manusia hilang setengah akal dari kesadaran. Logika yang tumpul akhirnya mengarah pada layar yang tampak di Handphone, melihat sosok dengan tampilan menawan, ganteng, seksi alias bahenol yang notabene itu hanya kamuflase dengan rekaan program photoshop bersama sajian gambar sosok kaya, cantik dan menawan; meski terkadang itu membuai dengan susunan skenario yang penuh dengan aroma kebohongan, pada akhirnya semua itu telah menjadi konsumsi yang menarik untuk terus dipantau. Juned menyadari itu. Namun ia belum berniat untuk menghapus keterikatannya pada sarana sosial media bikinan si adik Mark. Juned masih ingin bermain dengan situasi yang ada, bisa menjadi rekayasa keuntungan yang dapat menopang kehidupan.
“Apa yang membuatmu masih bertahan dengan akun Facebookmu?” selidik Kang Eman.
Sejenak Juned tak bersuara.
“Kau punya selingkuhan, ya?” tanya Kang Eman lagi dengan tekanan suara agak perlahan.
“Tidak. Selingkuhanku sudah aku putus. Banyak maunya.” Jawab Juned.
“Istrimu tahu?” cecar Kang Eman.
“Ya, dia tahu. Tapi dia santai saja. Itu hanya di dunia maya saja. Dia juga punya beberapa pacar di sana, tapi yang satu sudah dia putusin.” Jawab Juned tak kalah ringannya.
“Lho, kau tidak cemburu?” Kang Eman penasaran.
“Tidak, orang itu miskin. Kerap minta uang ke istriku. Tentu saja istriku menolak. Istriku suka dengan laki-laki kaya, berduit, agar bisa diporotin hartanya. Lumayan, jika berhasil bisa nambah-nambah uang belanja. Aku tidak terlalu capek mencangkul di sawah dan menarik ojek. Bukankah fungsi Facebook salah satunya seperti itu? Aku sih oke-oke saja, selama istriku masih seksi, muda, cantik dan tidak gendut dan hasil fotonya di Fb bagus, why not?” Wajah Juned terlihat datar, tak ada gurat kesal di sana.
Kang Eman terdiam. Barangkali ia tengah berpikir tentang ucapan Juned. Terbersit rasa kesal di benaknya, sebab istri Juned adalah keponakannya, anak dari kakaknya. “Kau keterlaluan, masakan istrimu kau jual melalui media sosial,” katanya geram.
“Lho siapa yang jual? Mereka kan tidak janjian, bertemu lalu masuk hotel dan berhubungan badan. Aku tahu siapa saja laki-laki yang mengaku suka dengan istriku. Mereka ada yang tinggal di Papua, Medan, Makassar, hingga NTT. Andai hendak bertemu pun aku tahu sebab Hape dia dan Hapeku sama, kami hanya punya satu Hape. Aku memakainya Senin, Rabu dan Sabtu malam, dia menggunakannya Selasa dan Kamis sore, selebihnya digunakan anak-anakku untuk belajar online. Anak-anak juga tahu kok teman-teman kami dan apa yang terjadi di Fb kami, mereka kadang menjadikan kami bahan lucu-lucuan.” Juned menjawab santai.
Dahi Kang Eman kian berkernyit beberapa kali lipat. “Kalian keluarga yang aneh,” katanya sambil ngeloyor pergi.
Kemudian Juned sakit. Sang istri mengabarkan perilhal sakitnya sang suami ke akun Fb-nya dan sebelum berita itu diupload atau di pajang di layar Fb sang suami, ada kesepakatan yang terjalin dari pasangan suami istri ini. Rekayasa yang penuh strategi dan menguntungkan mereka susun. Kisah Juned yang sakit kemudian menyebar tentu disertai dengan kalimat penuh belas kasihan, lalu sumbangan dari simpatisan dan para sahabat Fb-nya mengalir ke nomor rekening milik Juned yang nomor pin-nya diketahui sang istri. Demikian juga sebaliknya. Pacar-pacar platonik istri Juned gembira-ria kala tahu suaminya sakit yang di wall-nya ditulis sakit keras. Lalu donasi mengalir lancar. Dalam sekejap mereka kaya raya. Ratusan juta terkumpul sebagai tanda simpati.
“Buatlah wajahmu semenderita mungkin, aku akan mempostingnya lagi!” pinta istri Juned.
“Uang yang kita terima sudah banyak. Cukup sudah penipuan ini, nanti kita ditangkap polisi karena melakukan perbuatan kriminal melalui dunia maya,” Juned batuk-batuk. Tampaknya kerakusan yang sempat mendekam di benaknya, tersingkirkan. Ia merasakan dadanya agak sesak dan sakit.
Namun sang istri tak mau mendengarkan permintaan suaminya. Handphone dengan seri terbaru yang baru saja ia beli, kian gencar digunakan untuk melakukan aksinya. Saat itu, tatkala petang mulai menggantikan senja, bunyi nada pertanda transferan uang masuk ke rekening Juned terus terdengar. Suara itu seolah berpacu dengan batuk-batuknya yang kian keras. Juned merasa dadanya semakin sesak dan mulai memberikan rasa sakit yang sungguh luar biasa. Ia ingin berkata pada sang istri untuk menghentikan permainan itu. Karena kenyataan yang tampak di hadapan telah menjadi semacam ritual mengerikan yang mulai membahayakan. Juned ingin berteriak, memohon agar sang istri menulis kisah kalau ia mulai agak sehat. Tapi terlambat sudah. Kata sehat telah berganti posisi. Nafas Juned mulai ke luar satu-satu, nafasnya yang sesak seakan mulai menuntaskan keberlanjutan dari jalur kehidupan yang pernah dilaluinya.
Sebelum ashma akut yang dideritanya kian bertambah parah, ia hendak berkata pada sang istri, untuk menuliskan berita tentang keberadaannya. Jangan lagi mempolitisir keadaan, andai ia mati pun, ia rela. Naluri Juned mulai memberontak dan berkata bahwa menipu dengan memperlihatkan kondisinya yang sekarat, akan menjadi bumerang petaka dan itu bisa menjadi kenyataan. Karma! Itu akan datang cepat atau lambat. Tapi terlambat, panggilan Juned agar sang istri menghentikan semua aktivitasnya, tidak didengar sama sekali, istrinya masih asyik dengan penerimaan donasi dari para kekasih bayangannya dan simpatisan Juned. Kerakusan kian mendominasi.
Ketika perempuan itu menyadari apa yang telah terjadi, semuanya sudah terlambat. Padahal sebelumnya perempuan yang terlihat awet muda ini akan memperlihatkan jumlah uang yang masuk ke rekening suaminya. Sayang, penyakit ashma akut yang diderita sang suami, telah membuat dia tidur untuk selama-lamanya dan si istri tidak menyadari kala Juned masih bernafas tersengal-sengal, padahal lelaki itu ingin sekali menulis di wallnya dengan kalimat demikian : “Telah meninggal dunia dengan tenang, Juned bin Jamal akibat serangan penyakit ashma akut di rumahnya. Mohon doanya agar saya masuk surga!”
Tamat
Oleh : Fanny Jonathan Poyk