Cerita Jumat Malam
EFFI S HIDAYAT
1979, September.
Pit namanya. Dia datang tiba-tiba menghampiriku di ayunan. Hampir menjatuhkan aku karena aku sungguh mati terkejut dengan kehadirannya. Upps, bukan hampir lagi malah.
Aku beneran jatuh dari ayunan! Untung terdampar di pasir, hanya lututku sedikit lecet tergores. Akhirnya begitulah kami berteman.
Menurut pengamatanku—kala itu usiaku 10 tahun, sebagai anak lelaki, Pit sangat bawel. Dia banyak bercerita macam- macam, termasuk ketika harus berpisah dengan keluarga untuk selamanya. Suatu hari berhujan, sepulang sekolah Pit ditabrak angkot yang langsung kabur membiarkan tubuh kecilnya yang meregang nyawa tergeletak di jalan raya yang basah….
1990, Maret.
Sarah muncul bersama Pit. Anak perempuan berambut keriting itu cantik sekali. Dia berbeda dengan Pit. Sarah amat sangat pendiam sehingga kukira dia bisu. Tapi, ternyata tidak! Sarah cuma pemalu. Ya, dia suka ngumpet di belakang Pit. Enggan ikut ngobrol bersama kami. Sarah juga penakut dan mudah menangis. Mengapa begitu?
“Sst, maklum sajalah. Sarah kerap dirundung bapak tirinya. Sehingga suatu hari karena tidak tahan dia kabur. Tetapi ketahuan, lalu sialnya lagi si Bapak yang pemberang itu gelap mata mencabut nyawanya, ” kisah Pit telengas membuat Sarah yang cantik itu menangis lagi tersedu-sedu.
Pilu sangat mendengar rintihannya. Tak pernah kusangka nasibnya semalang itu. Masih mending aku, kalau dipikir, ya. Walau bapak ibuku sibuk bekerja dan sering meninggalkan aku sendirian di rumah, mereka tidak sekejam bapak tirinya Sarah. Oh!
2000, Juni.
“Kenapa kamu gemuk sekali?” Pit semakin cerewet. Itu-itu saja yang ditanyakannya setiapkali kami bertemu. Walau begitu dia rajin membawa temannya yang lain untuk diperkenalkan kepadaku. Ada Ari, Dika, Kemala, Putra, dan banyaaak lagi. Cerita-cerita mereka seru.Tidak semua kuingat namanya karena mereka ada yang hanya sekali saja datang. Bukan seperti Pit dan Sarah, rutin mengunjungiku.
“0h, hei, lihat, sudah ada keriput di wajahmu! ” Suatu kali Pit berteriak tanpa tedeng aling-aling. Membuat wajahku merah padam. Sudah tahun 2010, Agustus saat itu, tepatnya 23 Agustus. Tentu saja, hari itu adalah ulang tahunku ke 41. Aku sudah beranjak tua dan Pit, Sarah, dkk.-nya tetap saja mereka masih anak-anak. Tak ada batasan waktu bagi mereka….
2021, Oktober.
Duh, mereka tidak pernah datang lagi. Teman-teman kecilku tidak pernah hadir mengajakku bermain lagi. Aku kesepian? Tidak. Aku sudah punya Vlog beken. Semua cerita tentang mereka sudah habis ku-jual. Apalagi? Bagaimana kelanjutannya? Apakah aku harus mengarang bebas saja sekarang? Siapa namanya, lebih baik nama bule atau asli Indonesia saja. Peter, Surti, atau…?
Lagi bengong begitu. Tetiba… Blam! Muncul Pit dan tentu juga Sarah di hadapanku. Beneran. Mereka menyampaikan salam perpisahan kepadaku. Tidak akan ada pertemuan lagi berikutnya. Mengapa?
“Kamu gemuk dan tua sekarang, tidak asyik lagi bermain denganmu. Tetapi, bukan itu alasan sebenarnya. Semakin kaya dan terkenal kok, kamu jadi berubah sombong. Kamu nggak pemalu lagi kayak dulu. Kamu malu-maluin….”
“Kamu bahkan tega menjual rahasia kami, temanmu sendiri. Bilang kami pemarahlah, bilang kami malu tidak punya Ibu. Bilang kami roh gentayangan, kuntilanak arwah penasaran.Tidak tahu kah kamu semua ucapanmu itu menyakiti hati dan perasaan temanmu sendiri? Mengapa kamu tega, Ris? Mengumbar cerita yang dijadikan olok-olok, bisnis komersial, qibah ke seantero bumi? Bukankah walau dunia yang kita tinggali berbeda, kita harus saling respek menghargai satu sama lain?” Pit menggugat tanya panjang dan lebar.
Sejak hari cerah tanpa hujan, malam jumat terang bulan tanpa gelap itu RIris akhirnya memutuskan berhenti menuliskan jurnal . Tidak ada lagi Vlog jurnal RIris yang dikenal banyak orang. Dan, diminati netizen. Mengapa begitu? Entahlah. Boleh kau tanyakan sendiri kepadanya jika penasaran….