oleh SYAH SABUR
BELAKANGAN hari, saya benar-benar terkejut membaca berita di media online tentang kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Betapa tidak, berita tersebut dibuka dengan kalimat provokatif yang mengandung sumpah-serapah dengan menyebut beragam nama binatang.
Konon, sumpah serapah itu disampaikan oknum anggota TNI. Belum terang betul, apakah orang tersebut memang anggota TNI atau sekadar orang berbaju loreng? Sebab, dari video yang beredar, sosoknya tidak begitu jelas. Media tersebut juga sama sekali tidak melakukan klarifikasi kepada TNI.
Dalam suatu diskusi informal di grup WhatsApp, saya menyebut, berita seperti itu tidak bertanggung jawab karena bisa membuat suasana yang sudah panas bisa semakin panas. Lalu, ada seorang jurnalis junior yang tidak sependapat dengan pikiran saya. Dengan menggebu-gebu dia justru mendukung laporan media daring tersebut, yang dibilang “apa adanya”. Lantaran, katanya, tugas seorang jurnalis adalah menyampaikan fakta kepada publik.
Dalam diskusi lain yang berlangsung di salah satu kantor media terkenal, saya juga mendapat informasi dari seorang teman bahwa berita tersebut sempat menjadi diskusi di ruang redaksi. Salah seorang produser menganggap, medianya tempat bernaung layak menayangkan video dengan ucapan kasar tersebut karena memang faktanya seperti itu. Yang penting, ada komentar dari TNI.
Lantas sang produser melanjutkan, di televisi, berita seperti itu memang tidak bisa tayang karena ada tentang aturan ujaran kebencian. “Kalau di internet atau video digital, enggak masalah. Media online aaja sudah menjadikan omongan monyet itu sebagai headline,” kata dia.
Pertanyaannya, betulkah “fakta” menjadi satu-satunya syarat untuk membuat berita? Bagaimana jika fakta yang kita sampaikan justru menimbulkan kerusuhan, chaos, bahkan peperangan? Bukan cuma modal fakta .
Para perintis jurnalisme damai seperti John Galtung, Rune Ottosen, Wilhem Kempt, dan Maggie O’Kane menyatakan, jurnalisme damai dimaksudkan untuk menghindari atau mencegah munculnya kekerasan di masyarakat.
Pendekatan ini berprinsip membingkai laporan suatu kejadian lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat. Karena itu, laporan media juga harus mengarahkan penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian.
Menurut mereka, karena mengedepankan perdamaian, jurnalisme jenis ini berupaya sebisa mungkin untuk menghindari kata-kata yang mengandung makna provokasi. Di samping itu, dalam konteks konflik, kekerasan, atau bahkan perang, jurnalisme damai lebih mengedepankan empati pada para korban.
Dengan demikian, topik-topik yang dipilih sebagai bahan berita tak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi.
Saya juga teringat salah satu prinsip dari lembaga Ethical Journalism Network (EJN), jaringan jurnalis yang menyerukan penerapan kode etik di seluruh dunia. EJN menyebut lima prinsip dalam jurnalisme, salah satunya menyebut tentang kemanusiaan.
Hal ini juga sejalan dengan pandangan Interpeace (International Oragnization for Peace Building), suatu organisasi yang memperjuangan antikekerasan dan perdamaian di seluruh dunia. Interpeace menyatakan, selain memberi informasi kepada masyarakat, jurnalisme dapat membentuk dan menyebarkan nilai-nilai, meredakan ketegangan, dan melawan kebencian, memberikan berbagai pandangan maupun pendapat yang berbeda.
Karena itu, tepat sekali imbauan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) agar jurnalis dan media menerapkan prinsip jurnalisme damai dalam pemberitaan peristiwa bernuansa konflik seperti yang berkaitan dengan Papua dalam beberapa hari ini. Menurut AJI, jurnalisme damai tak berpretensi untuk menghilangkan fakta.
Tapi, yang lebih diutamakan adalah memilih atau menonjolkan fakta yang bisa mendorong turunnya tensi konflik dan ditemukannya penyelesaiannya secara segera.
Imbauan AJI juga sesuai dengan kode etik jurnalistik, khususnya pasal 8 agar jurnalis dan media, “tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras…”.
Apalagi, ucapan kasar dan berbau rasis yang dikutip di awal tulisan ini juga belum jelas, siapa yang menyampaikannya.
Dalam banyak kasus, adakalanya media memang tergodauntuk untuk memberitakan informasi sensasional. Tujuannya jelas, mengejar rating (televisi), meningkatkan tiras (koran dan majalah), atau mengejar hit (media online).
Karena itu, terasa naïf pendapat yang mengatakan, tidak ada gunanya kita menyembunyikan fakta di tengah derasanya media sosial yang bisa mengabarkan apapun. Sebab, kalau kita bersikap sama dengan media sosial, lalu apa gunanya kita mempelajari ilmu jurnalistik dan mengusung kode etik jurnalistik?
Jika jurnalis terlalu mendewa-dewakan fakta dalam membuat berita –dan mengabaikan fakta bahwa berita bisa menyulut keurusuhan yang lebih besar– apa bedanya jurnalis dengan provokator?[]