Oleh DIMAS SUPRIYANTO.
MESKI saya gagal mendapatkan lontong sayur kesayangan di perempatan dekat rumah, saya gembira karena mendapatkan koran KOMPAS dan WARTA KOTA edisi cetaknya di pojokan, tadi pagi. Pada jam yang sama biasanya koran sudah habis. Dan saya beruntung, banyak membaca kabar kembira di halaman muka.
Koran WARTA KOTA, misalnya menampilkan foto layanan warga di Balaikota yang populer di zaman Ahok BTP dan dibuka lagi. Sejak Anies Baswedan berkuasa diibukota, layanan itu ditiadakan.
Berbeda dengan Ahok yang berhadapan dan mrlayani sendiri para pengadu, kali ini staf balaikota yang berhadapan dengan warga, dan membagi dalam lima meja, sesuai lima wilayah ibukota. Di sana ada wartawan yang memantau, sehingga masalah yang diadukan warga juga terserap dan terekspose di media, memimalisir staf dan aparat “main” dan berpotensi mendapatkan penanganan langsung di bawah pantauan gubernur yang berkuasa kini.
Selain mengadu langsung ke balaikota, pejabat gubernur ibukota yang baru juga menghidupkan aplikasi, sehingga bisa mengadu secara elektronik.
“Martina Ngadu Dimintai Uang Mulai Rp.150 juta – Urus Pembebasan Lahan Hijau, “ demikian judul di banner (halaman muka atas). Masalah terjadi dan diadukan sejak 2019 lalu, tulis Warkot, semasa Anies berkuasa, dan tak kunjung ada penyelesaian. Yang ada minta pungli.
Saat Ahok BTP berkuasa, hal hal seperti itu tidak terjadi, karena langsung disikat. Sejak penggantinya berkuasa, aparat Pemda, Camat dan Lurah memang korup lagi. Layanan merosot lagi.
Dalam pidato arahan kepada camat lurah, dan SKPD DKI lainnya di TIM, Selasa (18/10/2022) Gubernur Heru Budi Hartono juga menyebut, ada lurah yang menggunakan petugas Penanganan Sarana dan Prasarana Umum (PPSU) untuk staf pribadi, sopir, ART, dll. Pendeknya, tidak sesuai tupoksi dan jobdesk-nya. Kemerosotan moral berlangsung di aparat pemda setingkat kelurahan di zaman Anies Baswedan.
Selain menghidupkan pelayanan warga di Balaikota, masalah banjir langsung ditangani dengan memastikan mesin penyedot air portabel berfungsi, mengantisipasi banjir, sembari menunggu pembangunan jangka panjang, menyelesaikan masalah laten di ibukota itu – secara permanen.
Gubernur yang berkuasa sebelum ini mengabaikan penanganan banjir lantaran sibuk memoles jalan protokol, melebarkan trotoar dan mengintegrasikan moda transportasi – yang merupakan program lama di DKI – agar ibukota nampak megah dan kemilau, sebagai modal kampanye warga daerah untuk menuju Istana Negara. Sementara kawasan kumuh tetap dibiarkan.
Khas politisi manipulatif.
Pendukung gubernur lama, anggota ormas terlarang yang kini terpinggirkan lagi, mengecam penguasa baru di ibukota sebagai “copy paste Ahok” dan siap mendemo dan menurunkan massa ke jalan. Ciri ormas bayaran dan sektarian, hanya golongannya yang benar, meski tak melakukan apa pun, lebih banyak wacana dari majelis ke majlis, tanpa aksi nyata.
Sedangkan gubernur yang langsung berhadapan dengan rakyat dan langsung memberi solusi dikecam, karena dinilai “copy paste Ahok”.
Saat membuka WA grup di HP saya mendapatkan video pendek sambutan warga atas kedatangan Heru Budi Hartono sebagai gubernur yang baru di ibukota. Sangat meriah.
Hari cerah sedang bersinar di Balai Kota DKI di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Seandainya Heru Budi bisa konsisten melakukan program Ahok BTP yang lima tahun terakhir ditelantarkan – minus gaya pidatonya yang frontal – maka mantan Walikota Jakarta Utara ini berpotensi untuk jadi Gubernur DKI di periode berikutnya.
Atau menyiapkan landasan yang mulus bagi gubernur yang merakyat yang akan datang.
Akhirnya saya sarapan di rumah, menyantap nasi hangat dengan tempe mendoan dan kecap. Sarapan yang sedap karena sudah mendapat kabar gembira. ***