Kai Tak Bandara Ekstrim di Hong Kong dalam Kenangan

Hongkong

  • Memilih ikan laut hidup untuk dijadikan lauk. (dok Santoso)
  • Oleh RAHAYU SANTOSO

    Sebagai seorang jurnalis  saya termasuk beruntung. Paling tidak sempat menjadi saksi dalam sejarah penerbangan di Hong Kong, beberapa saat sebelum Bandara Kai Tak ditutup dan dipindah ke Bandara  Chek Lap Kok tahun 1998.

    Bandara Kai Tak merupakan salah satu bandara terekstrim di dunia. Pilot tak hanya harus memiliki skill mumpuni, tapi juga keberanian dan kehati-hatian yang tinggi. Karena begitu ekstrimnya kondisi bandara tu.

    Sebelum mendarat di Kai Tak, pesawat harus melewati di antara bangunan pencakar langit. Lebih ekstrim lagi, sebelum sampai run way, kira-kira masih di ketinggian 150 meter, pesawat harus belok 45 derajad agar segaris dengan landasan pacu. Sebab  di depannya terdapat bukit Lion Rock yang menghadang.

    Namun selain mendebarkan, juga mengasyikkan. Coba bayangkan, pesawat yang kita tumpangi melalui bangunan bertingkat, bahan bisa dikatakan nyaris menyentuh atapnya. Bahkan dari dalam pesawat kita bisa melihat dengan jelas aktivitas orang yang berada di gedung apartemen itu.

  • Mejeng bersama rekan wartawan. (dok Santoso)
  • Pikiran konyol saya pun muncul, ‘’Pernah gak ya ada pesawat yang sayapnya nyamper jemburan hingga katutan celana dalam atau kutang,…hehehehe…’’

    Begitu berhasil menekuk pesawat 45 derajad dan masuk landasan pacu, masih juga ada tantangannya. Yakni pilot harus trengginas mengerem kalau tak ingin pesawatnya nyemplung laut. Bisa dibayangkan, kecepatan pesawat masih sekitar 200 feet, kalau remnya ngeblong bisa berkubang di perairan.

    Bandara Kai Tak yang berada di kawasan Kowloon itu sudah tiada, dan sudah berganti rupa. Namun kenangan itu masih terpateri di lubuk memori.’

    Undangan HKTA

    Saya ke Hong Kong bersama beberapa rekan wartawan di Surabaya, atas undangan HKTA (Hong Kong Tourist Asosiation) yang kemudian berubah menjadi Hong Kong Tourism Board (HKTB). Saat itu HKTA bekerja sama dengan Maskapai Penerbangan Cathay Pacific yang melayani rute Surabaya – Hong Kong.

  • Bersama pemain kecapi China. 9foto ; Dok Santoso)
  • Dari beberapa negara yang pernah saya kunjungi, Hong Kong yang paling asyik. Karena acaranya hanya jalan-jalan dan makan-makan.  Hanya sekali saja  press conference dengan pihak HKTA. Sedang dari pihak Cathay Pacifik dilakukan saat jamuan makan.

    Kalau ada ungkapan wartawan adalah ratu dunia, sepertinya tak salah-salah amat. Di bandara kami disambut dua gadis Mandarin yang cantik-cantik bermata sipit. Kemudian diantar ke bus turis mewah yang sudah menunggu.

    Menginap pun di hotel berbintang di kamar VIP pula. Kamar saya yang luas  di Excelcior Hotel itu, langsung menghadap laut. View-nya sangat cantik. Bisa melihat deretan kapal  pesiar (mungkin milik pribadi) yang sandar di situ. Spring bed-ku di rumah waktu itu termasuk kelas satu, kalah nyaman,kalah menul mentul  dibanding yang ada di kamar itu.

    Kamar hotel itu cukup luas, ada televisi besar.  Banyak channel yang bisa kita lihat. Tapi bagi saya tidak menarik karena tak mngerti bahasanya. Kita juga bisa pesan Blue Film (BF). Tapi berbayar hehehehe. Pikir saya, mana enaknya nonton BF sendirian. Mau sewa pramunikmat? Woww…dompet bisa ambyar broo…

    Lagi pula pihak asosiasi, tampaknya menjaga citra di depan wartawan. Bahwa Hong Kong adalah tujuan  wisata keluarga. Kepada tour leader saya sempat tanya soal esek-esek. ‘’Di Hong Kong tidak ada itu,’’ jawabnya sambil meninggalkan saya. Mungkin takut berondongan pertanyaan berikutnya.

    Jadinya, selama di Hong Kong  saya bisa nyanyi lagunya Rhoma Irama…’’Destinasi wisata kujelajahi, makanan enak kucicipi’’

    Semua destinasi wisata kami kunjungi. Dari naik kereta bergerigi  Peak Train menuju The Peak, museum, sangkar burung raksasa,  sampai naik roller coaster kayak anak-anak. Demikian pula makanan. Dari kelas warung sampai Planet Hollywood, milik si Rambo Silvester Stalone kami ciciipi. Bahkan bebek Peking yang diolah koki dari China Daratan pun sempat masuk perut. Tentu rasanya jauh beda dibanding Bebek Peking yang pernah saya cicipi di Jalan Wuni Madiun.*

    Avatar photo

    About Rahayu Santoso

    Penulis, editor, studi di Akademi Wartawan Surabaya, tinggal di Madiun