Tampilan wajah buku puisi Kaki Langit
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
GONJANG-ganjing ihwal ISBN (International Standard Book Number) belakangan ini, mengingatkan saya pada buku Antologi Puisi KAKI LANGIT puisi-puisi tempe yang diterbitkan Panitia Lomba Penulisan Puisi Radio ARH (Arief Rahman Hakim) ke-2 tahun 1979. Buku ini terbit tanpa ISBN. Namun sejak diterbitkan, terus dicari orang karena nilai sejarahnya yang unik dalam jagad sastra modern Indonesia.
Antologi Puisi “KAKI LANGIT puisi-puisi tempe” juga selalu mengingatkan saya pada almarhum Pak Mochtar Lubis, yang sekitar seminggu pasca buku antalogi itu diluncurkan di Galery Cipta I Taman Ismail Marzuki (TIM), yang berdampingan lokasi dengan Radio ARH Jakarta, mengulas panjang lebar isi buku, bahkan memuat puisi karya 4 orang pemenang lomba di Majalah Sastra HORISON
“Sastrawan dan budayawan Mochtar Lubis lahir 1922. Tahun 2022, sekarang, 100 tahun Mochtar Lubis. Kita doakan semoga beliau berbahagia dalam kuburnya. Aamiin,” begitu ungkap penyair D. Zawawi Imron, di laman WA Grup ATL (Asosiasi Tradisi Lisan).
Postingan dari pimpinan sebuah pesantren di Sumenep Madura ini langsung ditanggapi Pudentia MPPS, Ketua ATL Pusat:
“Beliaulah Bapak dan Perintis berdirinya ATL, yang memberi akses untuk punya ruang kerja pada awal ATL berkarya dan memungkinkan ATL menerima dana bantuan dari Ford dan Belanda. Sampai akhir hayatnya, Pak Mochtar Lubis bersama Pak Jacob Oetama menjadi Pelindung ATL dalam arti sungguh-sungguh. Semoga beliau berdua berbahagia di alam keabadian,” ungkap Pudentia.
Pak Mochtar Lubis yang lahir di Padang tanggal 7 Maret 1922 dan wafat di Jakarta pada 2 Juli 2014, itu menjabat erat tangan saya, seusai saya membaca Sajak Selembar Diploma pada Antologi Puisi KAKI LANGIT puisi-puisi tempe, saat peluncurannya tahun 1979. “Jadi benar, saudara Tukang Parkir?” tanya Pak Mochtar. Saya mengangguk pasti, dan merasakan jabat tangannya yang kian erat.
Ternyata itu bukan perkenalan angin lalu. Belakangan saat saya resmi bekerja sebagai jurnalis, dan ikut berbagai pelatihan jurnalistik yang menyertakan para jurnalis senior sebagai narasumber, ternyata Pak Mochtar Lubis masih ingat Sajak Selembar Diploma yang saya tulis, Juara III Lomba Penulisan Puisi Radio ARH ke II tahun 1977, dengan juri Taufik Ismail, Remy Sylado dan Toeti Heraty Noerhadi.
Juara I Muchwardi Muchtar, pelaut pada kapal tanker ‘pelat merah’ Indonesia, lewat puisi Berita Aneh dari Sebuah Kampung Aneh Disampaikan oleh Seorang Penyair Pancasilais. Juara II Eka Budianta, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dengan puisi Perjalanan Senja. Wina Armada SA, pelajar kelas 2 SMA Sumbangsih Jakarta, terpilih sebagai Juara IV. dengan puisi Nyanyian Sukma
Sebagaimana ringkas biodata yang saya sertakan sebagai bagian dari syarat lomba, saya memang Tukang Parkir di Pasar Majestic, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang manajemennya berada dibawah tata kelola PT Parkir Jaya milik Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Sebuah mesin ketik merk Brother, saya terima dari Penyair Arthur John Horoni, selaku ketua panitia, sebagai hadiah lomba.
Bang Arthur pula yang memimpin penerbitan KAKI LANGIT puisi-puisi tempe. Bercover foto hitam putih karya pelukis KP Hardi Danuwijono, (menggambarkan rangkaian gerbong kereta api padat penumpang, seorang wanita coba membeli sesuatu dari pedagang asongan di pinggir rel), buku antara lain memuat karya 4 pemenang dan 32 finalis, dimuat urut berdasar ranking nilai dari dewan juri lomba.
Peluncuran buku KAKI LANGIT puisi-puisi tempe di TIM yang didukung Dewan Kesenian Jakarta ini hadir sebagai acara sastra amat spesial buat ukuran zaman itu, dimana para ‘penyait tempe’ mendapat ruang terhormat (di TIM gitu, loh…!) untuk memperkenalkan diri kepada publik sastra secara lebih luas. Belakangan saya temukan data, puisi para pemenang diarsip oleh sebuah lembaga sastra di Australia.
Dihadiri pejabat terkait dan banyak seniman nasional tempo itu, keempat pemenang diundang secara khusus untuk membacakan karya, sekaligus ditanya ini itu oleh pembawa acara ihwal puisi yang ditulisnya. Sayangnya Muchwardi Muchtar, pemenang utama, tak bisa hadir karena masih berada di atas kapal tanker Indonesia yang sedang berlayar menuju kawasan Timur Tengah.
Siapa mengira bila kitaran seminggu kemudian Antologi Puisi KAKILANGIT puisi-puisi tempe itu dibahas panjang lebar oleh Pak Mochtar Lubis dalam bentuk Catatan Budaya di lembar Majalah Sastra HORISON. Yang bikin ‘geger’ pembaca dan lantas melahirkan polemik disana-sini, Pak Mochtar Lubis sebagai Pemimpin Redaksi HORISON juga memuat teks lengkap puisi para pemenang.
Diakui atau tidak, banyak penyair senior dan yang merasa dirinya senior seperti kena tabok atas dimuatnya puisi-puisi ‘tempe’ itu. Banyak gerundelan, protes (pada Pak Mochtar Lubis) langsung atau tidak langsung, dengan bilang: “Penyair masih pada ‘tempe’ kok bisa-bisanya masuk dan tayang karya di HORISON. Apa kata dunia?” begitu antara lain bisik-bisik tak suka yang saya tangkap dan dengar.
Kata ‘tempe’ ini sangat ditekankan pelafasannya. Bukan lagi sebagai bahan pangan olahan dari kacang kedele, melainkan kata lain dalam Bahasa Jawa untuk menyebut organ intim kaum wanita. Bahkan ada seorang ‘seniman’ di TIM melontarkan omongan nyelekit saat saya lewat didekatnya yang sedang ngobrol dengan beberapa temannya, “Tukang parkir kok bikin puisi…,” sindirnya sambil tertawa.
Saat itu, jiwa saya masih lekat dengan ‘roh’ jalanan. Spontan saya terjang si mulut nyinyir itu. Nyaris mati dia saya injak dan cekik, kalau saja dia tak segera menjura langit, angguk-anggukan minta maaf (sampai-sampai tangannya nyaris menyentuh tanah), minta ampun sambil memelas: “Sorry, Broer…, sorry…! Aku cuma bercanda…! Maaf…, aku minta maaf…”
29/04/2022 PK 09:38 WIB