Kalau Bisa Tanpa Obat Itu Resep Dokter Yang Paling Arif

Waktu sekolah dokter dulu, Prof Iwan Darmansjah almarhum, bukan saja mengajarkan Ilmu Farmakologi terapan, melainkan juga bagaimana bijak menulis resep. Ini perlu hati, tak cukup hapal obat dan kegunaannya.

Menulis resep untuk suatu penyakit perlu memikirkan kondisi pasien juga selain memilah pilihan obat yang tepat. Untuk itu perlu arif. Kalau bisa tanpa obat, mengapa harus menulis resep. Kebiasaan sejawat dokter merasa kurang cespleng kalau tidak menulis resep sekalipun tidak ditemukan penyakit apa, menjadi tradisi membebankan kocek pasien, selain efek samping obat yang harus dipikul pasien, akibat selalu harus menulis resep sebelum pasien pulang. Padahal sejatinya tidak perlu begitu.

Tidak semua keluhan, dan gejala pasien, apalagi bila itu bukan entitas suatu penyakit, memerlukan obat. Dan sebagian besar kalau pun ditemukan diagnosisnya, penyebabnya lebih karena keliru memilih gaya hidup. Orang hipertensi yang cuma ringan, diabetes yang hanya sedikit di atas nilai normal, atau nilai kolesterol yang sedikit abnormal, belum tentu perlu obat. Koreksi dulu gaya hidupnya. Kalau dalam sebulan dengan gaya hidup sehat keadaan sedikit kurang normnal itu masih menetap, obat baru diperlukan.

Gaya hidup itu soal pilihan menu, berat badan ideal, dan aktivitas fisik memadai. Apakah sudah tepat menu seimbang, 60-25-15, paling besar porsi karbo, lalu protein, dan paling sedikit lemak, dan bukan dibalik. Sudah rutinkah berolahraga atau pilihan jalan kaki rutin seminggu 6-7 kali? Sudah dibuat idealkah berat badan (Berat dalam Kg dibangi pangkat dua tinggi dalam meter, idealnya kurang dari 25,0)? Sudahkah mengendurkan stres, dan hidup penuh suka cita?

Mestinya, tubuh bisa pulih menjadi normal setelah melakoni gaya hidup yang tepat di atas, maka bukan obat yang memulihkan bila sedikit abnormal. Gula darah naik karena kegemukan, karena kurang gerak, karena stres juga. Tensi darah meninggi sebab konsumsi garam dapur berlebih, stres rutin, emosi tak terkendali, demikian pula dengan lemak dalam darah, dipengaruhi oleh apakah tubuh cukup bergerak, bukan cuma duduk.

Keluhan sehari-hari, pegal linu, lekas letih, suka mual, barangkali memang gaya hidupnya salah. Menu harian kurang lengkap, aliran darah kurang deras karena sedentary life style, dan tubuh banyak kekurangan nutrisi esensial: porsi makan cukup, tapi keanekaragaman menunya kurang. Maka banyak orang mengeluh ini-itu yang tak perlu obat, melainkan cukup ekstra vitamin-mineral (Baca Linus Pauling Institute tentang Orthomolecular Medicine, bahwa orang di dunia krisis kekurangan vitamin, akibat bahan pangan tumbuh di tanah yang sudah tidak subur, cara panen salah, cara simpan, cara olah makanan kesemuanya berisiko menghilangan nutrisi alami bahan makanan, selain kebiasaan monodiet orang modern, hanya satu menu). Maka solusinya bukan obat, melainkan butuh ekstra vitamin-mineral.

Prof Iwan juga mengajarkan bagaimana bijak menulis resep. Kalau cukup satu macam obat mengapa harus dua macam. Kalau ada pilihan obat lebih murah kenapa memilih yang lebih mahal. Kalau ada generik kenapa pilih obat bermerk. Kalau kondisi pasien kurang mampu kenapa harus memilihkan obat yang dia tak bisa menjangkaunya. Orang kaya perlu diberi obat harga tinggi, karena mungkin tidak percaya kalau obatnya murah sekali, pengalaman saya praktik di lingkungan elite, racikan yang padahal manjur, disangsikan pasien gedongan, sehingga bisa saja sugesti tidak sembuh. Faktor sugesti perlu, karena bisnis profesi medis itu trust, termasuk tongkrongan dokter.

Menulis resep juga sebuah seni. Selain terampil memeriksa, dan cerdas mendiagnosis, perlu bijak menulis resep. Selain tepat pilihan obat untuk sesuai dengan diagnosis, juga perlu pertimbangan apa sudah perlu obat, dan siapa pasiennya.

Maaf kalau saya harus mengangkat resep yang kurang bijak selain tidak cerdas. Bahwa resep yang cerdas itu, resep yang sesedikit mungkin macam obatnya, harga paling rendah, dan menyembuhkan. Bukan resep yang berderet dengan harga tinggi.

Resep yang ditulis berderet bukan resep yang cerdas, belum tentu juga bijak. Saya barusan dikirimi kopi resep dari peserta seminar saya, dengan keluhan batuk ngikil, ya keluhan batuk ngikil saja resepnya 8 macam obat. Kalau betul keluhan hanya batuk ngikil, kenapa ada obat yang di luar kaitan dengan batuk, bukan fokus untuk batuknya. Gejala ini yang dilabel sebagai resep polypharmacy, obat berlebihan yang tidak perlu.

Polypharmacy yang memikul secara ekonomi tentu saja pihak pasien, selain memikul efek samping obat yang mungkin tidak perlu diberikan. Bahwa prinsip pemakaian obat itu pertimbangan risk-benefit, mudarat-manfaat.

Semua obat, bahkan obat warung pun punya efek samping sebagai risk obat. Apabila risiko obat lebih besar dari manfaat atau benefit, maka obat tidak diperlukan. Kalau hanya masuk angin tidak enak badan dan sembuh dengan dibawa tidur mengapa harus minum obat warung. Begitu juga kalau semua keluhan sebab salah memilih gaya hidup, koreksi dulu gaya hidupnya, baru diberi obat bila tidak menyembuhkan.

Obat baru dipilih untuk dipakai apabila manfaatnya (benefit) lebih dari risiko atau efek sampingnya. Termasuk minum obat seumur hidup. Bila dengan terus minum obat seumur hidup nasib penyakit kita tidak memburuk, dan nyawa kita terselamatkan, maka obat dinilai punya manfaat, dan efek samping dianggap sebagai konsekuensi untuk memetik manfaatnya.

Tidak etis saya mengomentari resep sejawat kalau benar berderet panjang, karena saya diajarkan makin sedikit obat diresepkan dan makin murah harga obat, dan menyembuhkan, itulah resep yang cerdas dan bijak. Tapi nyatanya sampai hari ini masih banyak resep yang polypharmacy itu. Termasuk memilih obat tak ubahnya membunuh lalat dengan senapan, dengan tujuan supaya pasien beranggapan dokternya tokcer mengobati.

Masih nasihat Prof Iwan, menulis resep bukan harus memborbardir keluhan, biarlah cukup waktu untuk pulih sndirinya. Persepsi salahnya, karena di benak pasien, makin cepat keluhan hilang, berarti penyakitnya sudah sembuh. Keluhan hilang sejatinya penyakitnya belum tentu sudah sirna. Perlu waktu, apalagi infeksi.

Maka banyak kolega dokter yang mengutamakan obat simptomatif yang meredakan keluhan demi menyenangkan pasien, ketimbang obat yang melakukan penyembuhan. Keluhan dan gejala itu asap, sedang sumber penyebab penyakitnya itulah api.

Resep yang cerdas dan bijak itu cukup memadamkan apinya, sumber penyakitnya, dan bukan meniadakan asapnya. Bahkan asap sendiri tak perlu ditiadakan, karena dengan sendirinya asap akan hilang bila apinya sudah dipadamkan. Meniadakan asap hanya menambah biaya beli obat, selain pasien memikul efek samping obat yang lebih banyak.

Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL

Soal Pete, Jengkol Jadi Obat & Perkeliruan Dalam Berobat Lainnya