Kalijodo

Orang “bule” pasti agak kesulitan menerjemahkan Kalijodo ke dalam dua kata. Jika mau diterjemahkan River of Love rasanya kok kurang tepat. Karena, dalam kata jodo terkandung arti yang jauh lebih luas daripada sekadar cinta.

Dalam kata jodo ada: peruntungan atau fortune, ada nasib atau destiny, ada kecocokan atau match, dan tentu saja cinta.

Jika diterjemahkan menjadi River of Love and Fortune kayaknya kok agak alay ya. Gimana kalok kita sepakati: River of Destiny… kayaknya keren ya, seperti judul film atau lagu. Wah, jadi inget lagu jazz klasik yang judulnya dahsyat: “Cry Me a River”. Busyet, bayangkan orang menangis sampe air matanya banyak banget tak putus-putus seperti aliran sungai.

Kalijodo merupakan wilayah semacam delta di muara sungai. Dulu, mustinya adalah tempat yang romantis. Orang-orang China tempo dulu memanfaatkan keelokan panorama dan suasana romantis tempat itu sebagai tempat untuk merayakan hari-hari besar keagamaan.

Keluarga-keluarga berkumpul, berdatangan dari berbagai pelosok di Jakarta, eh dulu Betawi, dengan penampilan terbaik mereka.

Bicara keluarga berarti terdiri dari orang-orang sepuh, ayah-ibu, remaja, dan anak-anak. Nah kaum remaja-seperti semua remaja dari bangsa apa pun pasti plirak-plirik jika melihat remaja lain, lawan jenis…

Nah, dari tempat merayakan hari besar keagamaan, perlahan-lahan tempat itu berubah menjadi semacam tempat untuk mejeng, ngeceng, sanjo-sanjo kata Wong Kito atau boleh dunsanak memberi nama apa saja sekehendak hati, yang jelas artinya adalah tempat di mana remaja sedang dimabuk asmara.

Romantisnya ritual mencari jodoh itu jika dibayangkan mungkin mirip-mirip menyusuri Venesia dgn gondola. Tapi, gondola di Venesia penumpangnya adalah pasangan suami istri yang ingin merayakan hari pernikahan entah yang ke berapa, pasangan pengantin baru atau pasangan remaja yang baru saja merayakan “jadian”.

Di Kalijodo dulu keriaan itu bernama Peh Cun. Remaja duduk dengan berdebar-debar di perahu sambil memegang kue yang terbuat dari beras (ketan) yang di dalamnya berisi kacang hijau manis (kue ku?).

Nanti kue itu akan dilemparkan ke perahu lain yang lewat, yang ditumpangi oleh remaja lawan jenis yang ditaksirnya. Jika lemparan kue itu dibalas, berarti “lamaran” untuk menjadi kekasih atau-seandainya mau langsung menikah-diterima.

Pada pekembangannya kemudian, perayaan itu dimanfaatkan sebagai tempat “jual-beli” asmara sekelebat. Atau, tempat para saudagar yang datang dari Manchuria mencari pasangan sementara ketika berbisnis, karena istri ditinggal di negaranya.

Lalu, tempat itu menjadi tempat prostitusi kalangan bawah, yang membawa citra tak elok bagi sekitar.

Sangar, angker, dan kumuh!

Beberapa kali pejabat berganti. Beberapa pejabat mencoba dengan segala cara mengubah tempat itu menjadi tempat yang layak untuk sekadar duduk-duduk sore sambil menikmati panorama dan embusan angin laut. Tapi, tempat sangar itu tetap kokoh berdiri. Rupanya di tempat itu banyak sekali orang sakti.

Lalu, seorang gubernur pemberani datang dengan ratusan aparat pemprov, polisi, bahkan tentara. Barulah tempat itu “direbut kembali” oleh negara.

Tempat itu kemudian dibersihkan. Dijadikan tempat olahraga dan tempat warga sekitar melakukan aktivitas positif dan tempat rekreasi. Karena cantik dan bersih, hampir tak tersisa jejak bahwa tempat itu sebelumnya adalah tempat yg “menyeramkan”.

Gubernur pemberani itu, sayangnya tak terpilih lagi dengan cara yang… kita semua tahu.

Sekarang, tempat itu kembali kotor tak terawat dan terdapat banyak sampah berserak di mana-mana.

Eeh, dengan entengnya pejabat baru berkata: “Kita hanya bisa membangun, tapi tak bisa merawat.” Seolah-olah dialah yang membangun semua sarana itu.

Hlaaah… kalimat itu seharusnya datang dari kami dan ditujukan kepada Anda, Bung.
Bukan sebaliknya!

Bukankah dengan kekuasaan, aparat dan pekerja yang digaji (dari pajak kami) dan APBD (bagi yang gak ngeh, APBD itu adalah kependekan dari: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) seharusnya tim Anda yang merawat!

Pejabat sebelumnya membuat tempat sangar itu menjadi nyaman bukan dengan sulap, Bung. Tapi, dengan susah payah. Dengan “berdarah-darah”, kata anak zaman now.

Mosok tinggal merawat saja Anda tak mampu…sudah gitu pake menuduh pula bahwa kami yang gak bisa merawat…