Tulisan saya pagi ini tentang keutuhan sebagai murid. Kita ini bukan calo.
Apa itu calo? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), calo diartikan sebagai orang yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk mengurus sesuatu berdasar upah.
Kisah unik: Suatu hari, terjadi dialog lucu antara ayah (pendeta) dengan putri kecilnya yang bernama Lucy. Ketika di terminal bus ia heran melihat orang berteriak-teriak tanpa henti.
“Jogya, Jogya, Bu, Pak, ayo…, Jogya segera berangkat…!!!”
Lucy heran, ketika bis berangkat bapak yang teriak itu tidak ikut ke Jogya.
“Ayah,” tanya lucy pada ayahnya, “Itu siapa sih yah. Tadi ngajak-ngajakin orang pergi ke Jogya, kok sekarang dia gak ikut…?”
Ayahnya menjawab, “Itu namanya calo. Walaupun dia teriak-teriak sampai pagi, dia nggak bakalan ngikut ke mana bis ini pergi.”
“Oh,” sahut Lucy tanda maklum.
Tiba-tiba Lucy menangis sambil memeluk ayahnya. “Lho, kenapa…..?” tanya ayahnya kaget
“Ayah sering teriak-teriak ngajakin orang masuk ke surga ‘kan, Lucy takut!!Takut ayah kayak calo itu, gak ikutan ke surga,” jawab Lucy sambil sesenggukan.
Satu pelajaran penting dari dialog tentang CALO itu.
Jika kita tidak melakukan bagian kita, jika kita tidak mengikuti proses perjalanan iman kita, jika kita tidak mengalami apa yang kita sampaikan kepada orang lain, maka tak ubahnya kita dengan calo itu, kadang kita mengatakan sesuatu, tetapi kita tidak melakukannya dan kita sudah menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Yakobus katakan “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.” (1:22)
Pengakuan dengan mulut dan pernyataan dalam hati yang disertai dengan perbuatan itulah yang dapat menunjukan dengan jelas siapakah diri kita ini. Apakah kita ini murid Kristus atau bukan.
Piye? Beberapa hari lagi Natal ya. Sudah melakukan apa selama Advent ini?
Salam sehat dan tiada henti berbagi cahaya. (Jlitheng)