Seide.id -Menakar dari tiga kandidat calon Pilpres, baik Anies Baswedan, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, dalam proses kampanye kandidat sebenarnya terdapat empat hal penting yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan kampanye presidential yang merujuk pada peristiwa-peristiwa politik serupa merujuk pada banyak negara.
Yang pertama adalah budaya politik ini menjadi salah satu problem, dimana tidak adanya perbedaan mendasar dari tiga kandidat calon yang salah satu penyebabnya adalah karena memang kultur politik kita, justru menghindari terjadinya polarisasi. Padahal dari sisi positif, polarisasi adalah sebuah kebutuhan dalam politik. Dan tanpa polarisasi akan sulit untuk membedakan perbandingan pasangan nomor satu, dengan dua, dengan tiga dan seterusnya.
Namun polarisasi mendapat nama buruk dalam konteks Indonesia, terutama dalam dua pemilu terakhir akibat secara serampangan mengatakan bahwa polarisasi politik di Indonesia terjadi karena hanya ada dua pasangan calon, karena itu doronglah agar terdapat tiga, empat atau bahkan sebanyak-banyaknya. Pandangan demikian sebenarnya bisa disebut pandangan yang serampangan dan tidak dapat disebut analisis karena bisa dilihat di negara-negara modern dimana yang hanya terdapat dua pasangan calon bukan serta merta terjadi adanya polarisasi yang konfliktual, seperti dalam dua pemilu terakhir di Indonesia.
Merujuk pada hal tersebut diatas maka dapat dijelaskan bahwa keberadaan Jokowi adalah sebuah problem dalam politik Indonesia hari ini. Jokowi menjadi satu problem dalam politik nasional Indonesia hari ini, yaitu ketika pasangan calon memiliki keterkaitan yang tidak bisa dinafikan terhadap Jokowi, dimana pasangan nomor satu menampik IKN (perpindahan Ibu Kota), tetapi kalau IKN ditolak akan ada konsekuensi-konskuensi yang sangat serius bukan hanya terhadap ekonomi, politik dan seterusnya. Namun pasangan AMin tidak ada terlihat memiliki proposal yang lebih baik dibandingkan IKN, karena PKB dan Nasdem adalah salah satu bagian dari koalisi yang menyokong Jokowi, dan demikian pula pasangan kedua dari PDIP bagian dari koalisi yang sama, dan dapat juga ditambahkan pula pasangan ketiga yang memiliki hubungan darah terhadap Jokowi. Hal ini menjadi dapat dikatakan menyandera Ganjar yang ketika mengatakan bahwa nilai penegakan hukum ada di poin lima sambil menunjuk pada calon lain disebelahnya, kultur politik yang tidak mengenal polarisasi yang kuat, menjadi problematik.
Problem kedua, terkait dengan konskwensi diatas tersebut membuat nyaris tidak adanya kekuatan progresif dalam politik Indonesia. Sehingga dikawatirkan walau terdapat banyak lebih pilihan jumlah pasangan calon presiden pada saat pencoblosan 14 Februari 2024, yang membedakan diantara pasangan calon adalah nomor urut pesertanya saja, 1, 2, 3, 4.. dst. Karena satu hal penting dalam semua kampanye presidential adalah platform kampanye kandidat calon atau dikenal sebagai vis misi dan program. Dalam hal ini ketiga pasangan calon kandidat pilpres yaitu AMin punya 8 Misi, Ganjar Mahfud memiliki 8 Poin Percepatan, sedangkan pasangan Prabowo Gibran jelas punya Astacita (8) dan kalau diamati isi dari ketiga pasangan calon dan tidak ada juga perbedaan ketiga pasangan calon terhadap pemerintahan sekarang, yang artinya tidak perbedaan serius diantara ketiga pasangan calon Presiden dan Wakil.
Akibat tidak adanya kekuatan progresif, dan sejauh tidak ada kekuatan progresif dalam politik nasional, maka tidak ada harapan akan adanya lompatan politik yang besar. Sedangkan diharapkan pada pasca 2024 akan lahirnya generasi baru politik, kenapa generasi baru politik, karena pertama Presiden Jokowi sudah tertutup peluang konstitusionalnya untuk mencalonkan diri kembali, yang artinya diharapkan akan adanya seorang presiden baru di 2024 nanti, dimana lebih dari 56% pemilih pada 2024 adalah tergolong pemilih muda yang semestinya datang dengan satu budaya baru politik yang tidak mewarisi budaya lama politik.
Berikutnya adalah kondisi sosial ekonomi yang juga problematik yang ditinggalkan Jokowi dan para pendahulunya. Jadi dapat dikatakan Jokowi adalah bagian dari problem politik Indonesia hari ini. Betul bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup positif berkisar pada 5%, namun perlu juga di-ingat bahwa Jokowi bukan sepenuhnya dari masalah yang ada, karena Jokowi jelas memiliki nilai sangat baik yaitu tetap membuat pertumbuhan ekonomi yang positif pada masa pandemi. Adalah prestasi Jokowi yang luar biasa.
Tetapi yang harus dilihat adalah pertama distribusi ekonomi masih timpang meski rasio ketimpangan antara kelompok yang kaya dibandingkan yang miskin itu menjadi lebih baik, namun hampir tidak memiliki makna karena 10% orang terkayanya memiliki hampir setengah dari total kekayaan adalah negara yang punya problem besar.
Perihal kedua juga Indonesia berhadapan dengan melebarnya kesenjangan antara kota dibanding desa, yang menunjukkan mengapa proporsi penduduk kota itu cenderung meningkat, bahkan ada prediksi bahwa kemungkinan di tahun 2030 nanti jumlah masyarakat di wilayah perkotaan akan mengalami lompatan yang serius, yang sekarang pada angka 55-56% dan prediksi di tahun 2030 dengan situasi yang sekarang Indonesia akan mengalami masalah serius tidak hanya penduduk perkotaan lebih banyak dibanding pedesaan, tetapi juga kesenjangan ekonomi desa dan kota juga jelas akan meningkat. Dan seharusnya menjadi perhatian yang serius untuk ketiga pasangan calon kandidat Presiden dan Wakil yang sama-sama ingin melanjutkan apa yang sudah diraih Presiden Jokowi.
Kemudian mengenai masalah sosial ekonomi yang demikian, lalu apa yang berpengaruh terhadap hasil pemilu 2024 jawabannya adalah pemerintah yang sekarang. Pemerintah Jokowi masih akan banyak meluncurkan program-program bantuan terutama bagi kelompok yang paling miskin dengan jumlah sekitar 29 juta orang miskin di Indonesia yang jumlahnya sudah menurun walau tidak terlalu signifikan.
Dan ini artinya pemerintah yang sekarang meninggalkan PR besar, karena menciptakan ketergantungan yang lebih besar kelompok paling miskin kepada negara. Tentu baik saja karena negara punya pemimpin yang baik hati, tetapi baiklah kita mengambil contoh negara-negara di Eropa Selatan, yaitu Portugal, Yunani, Spanyol adalah negara-negara yang memiliki masalah ekonomi karena dimasa pandemi Covid, para kandidat calon berlomba-lomba untuk membuat sebanyak-banyaknya bantuan dari negara kepada masyarakat paling miskin.
Namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya yang mengatakan bagaimana caranya bisa dilakukan. Bahkan pemilu di Amerika Serikat tahun 2016 maupun 2020, Trump dan Biden menjanjikan hal yang bagus, namun samasekali tidak tau bagaimana caranya itu dilakukan.
Ada yang menarik disampaikan oleh Ganjar Mahfud dalam visi misi dan programnya mengenai APBN yang berimbang, namun belum menjadi pembeda yang serius diantara ketiga pasangan calon. Sehingga masih dalam posisi pembeda ketiga pasangan calon adalah Nomor Urutnya, sehingga menjadi kemungkinan besar calon yang akan menjadi pemenang dalam konstelasi Pilpres adalah calon yang mendapatkan endorsment terbesar atau terkuat dari Jokowi, dan tentu kita tidak mengharapkan demikian mengingat pada kesetaraan yang seharusnya diantara para calon kandidat. Akibat dari kondisi sosial ekonomi dimana membesarnya ketergantungan kelompok orang miskin kepada negara. Sehingga dapat dikatakan seperti negara tidak memiliki niat menurunkan besaran ketergantungan jumlah rakyat miskin kepada negara, bahkan malah serius meningkatkan ketergantungan ini, melalui Bansos, BLT, PKH dan banyak lagi untuk nantinya didulang suaranya setiap kali Pemilu dilakukan.
Selanjutnya adalah perihal setting kelembagaan dalam 10 tahun terakhir, terjadi penumpukan kekuasaan negara sehingga negara semakin eksesif, terutama pada kekuasaan Jokowi kian eksesif bertumpuk ditangan Jokowi dan menjadi sumber masalah, karena menjadi sarana mengintervensi juga terhadap yudikatif, ketergantungan banyak orang di level eksekutif, termasuk kepada penjabat Kepala Daerah. Kekuasaan Presiden begitu sangat eksesif, dan ini tidak hanya Jokowi mengalami problematik serius, namun juga menjadikan kita semua masuk dalam masalah yang sama adanya ketergantungan semakin besar terhadap negara, termasuk lemahnya media, lembaga-lembaga pendidikan juga lembaga keagamaan menjadi subordinat pemerintah menjadi bagian kritik kepada kita semua.
Sehingga hal-hal seperti gimik-gimik politik kandidat calon seperti Gemoy, sukar untuk tidak dikatakan tidak terlepas dari Jokowi. Dimana terjadi pengakomodasian pertukaran kepentingan agenda-agenda elit, yang melibatkan patronase politik, perburuan rente, sehingga revisi perubahan UU-KPK, KUHP, UU-MK, UU-CiptaKerja, berjalan lancar dalam hitungan minggu, dan akhirnya UU ini menjadi paling banyak digugat di Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya yang ke-empat, apakah yang membuat kampanye presidential berhasil, yaitu random event atau peristiwa-peristiwa acak yang sedang dihadapi. Bisa saja tidak menyukai gimik-gimik seperti joget Gemoy, namun bagaimana pasangan lain menghadapi ini, terlihat tidak mampu menghadirkan antitesisnya paling tidak dengan menghasilkan joget yang berbeda, atau dengan hal lain seperti warna baju, model baju dan banyak lagi, namun tetap tidak mampu dihadirkan untuk menarik perhatian generasi Milenial hingga Gen-Z.
Bagaimanapun juga kita tentu sangat tidak mengharapkan masa depan Generasi-Z menjadi Generasi Zombie (ada wujudnya tetapi tanpa jiwa), bila kondisi dinamika politik kampanye presidential dibiarkan tanpa adanya polarisasi antar kandidat calon. Kita semua mengharapkan Generasi Milenial hingga Gen-Z para penerus menjadi kehilangan semangat juang, karena didalam dirinya terdapat rasa sinisme yang semakin membesar terhadap kelompok senior karena problematika tidak tertasi dalam kampanye presidential.
Tentunya hal demikian juga menjadi perhatian sangat serius Partai Perindo yang sungguh berjuang dan mengajak bersama seluruh rakyat untuk turut bergerak, sesegera mungkin aktif disemua bidang masing-masing mangatasi seluruh problematika mulai dari pemerintahan hingga akar rumput. Keberhasilan Partai Perindo akan menjadi keberhasilan seluruh rakyat Indonesia dengan berlandaskan pada Pancasila dan konstitusional.
Penulis: Jeannie Latumahina.
Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Perindo
Dinamika Politik Indonesia Menuju Pemilu 2024, Rakornas Relawan Ganjar