Oleh RIRIZ SENO
DINI HARI Kang Badi mulai mengemasi dagangannya yang sebentar lagi tutup. Aneka minuman; susu jahe, teh, kopi tubruk juga macam-macam gorengan serta lainnya, nyaris habis semua.
Di pinggiran jalan, lebih tepat dikata ditanah tak bertuan, beberapa warung berjejer dari yang jualan kelontong, sampai warung minum makan sekedar, meramaikan suasana dusun yang telah menjadi pinggiran kota. “Alhamdulillah, habis daganganku, Mas, ” tuturnya kepada saya yang malam lalu ikut nyakruk medang jahe di warungnya.
“Wah mantap….kelarisan Kang ya, semoga banyak untung….berkah Kang…..” kata saya memancing, meski sedari dulu saya tau Kang Badi gak bisa baca tulis, ngitung itungan duit lebih dari Rp. 20 ribu pun berkerut jidat seperti kebingungan.
“Ya, yang penting bisa untuk belanja lagi besoknya, dan aku bisa nunut makan, Mas, kadang bisa beli beli untuk nyelengi dan sesekali nyangoni cucu, lho, Mas, ” jawab kang Badi berbinar sambil beberes perkakasnya.
Berpostur pendek, hidung pesek, kulit sawo matang, setelah punya cucu ia lebih sering berpeci dan berpakaian rapi, biar terlihat nuwani akunya.
“Lha itu ngitunge bener apa nggak? Jangan jangan sampeyan rugi lho kang, wong empat kali lima saja sampeyan yo ora gupuh hasile berapa kok, ” Semprul menimpali sambil senyum mengedip saya, bermaksud meledek omongan kang Badi.
“Sudah tak hafalkan harga harganya prul….., lha Gusti Allah…….Gusti Allah…… Aku itu ikut kalkulatore Gusti Allah prul Semprul…… ya buktinya pelangganku masih banyak to…!” jawab kang Badi sewot, meladeni ledekan Dul Kancil. “Geeerrrrr…..xixixiiiii…..” akhirnya semua cekikian tertawa, Semprul dan kawan-kawannya, termasuk saya, yang malam itu nyakruk, membalas kesewotan kang Badi.
Seperti biasa, saat pas senggang saya sempatkan jajan di warung kampung, sekedar melepas kepenatan dan mengobati kangen guyonan guyonan polos apa adanya. Gaya dialog yang kawan kawan Jogja Solo mengistilahkan gojeg kere, candaan rakyat jelata, nyaris tiap hari menjadi hiburan sekaligus terapi sehat disekitar mereka.
Dengan gojeg gojeg itulah, mereka seperti menemukan dirinya sendiri, dialog dialog jujur dan kadang vulgar seperti manjadi warna keakraban diantara mereka. Tidak ada kecemburuan, lugas memancing tawa, terkadang saling meledek untuk kemudian mereka besok berkumpul lagi.
“Nasib orang hidup itu seperti roda berputar, kadang dibawah kadang diatas, ada terang ada gelap atau sesekali abu-abu, kuncinya hanya sabar, ” kang Badi bergumam saat asyik mengemasi barang.
Dasar si Semprul, yang muludnya gak bisa diam, “Lha, kalo bannya nggembes bocor gak ada tukang tambal gimana kang, ya rodane gak mutar-mutar to., “seloroh Semprul dengan joke menggoda.
“Huussshhh……..lambemu itu lho, asal mangap saja……kalo ada wali lewat disabdo kamu……!!” Kang Badi bergegas menjawab sambil mengulum senyum antara jengkel dan keki.
“Haha….hahaaa…..hahahaaaa, ” semua yang nyakruk di warung kembali terbahak seperti koor memandang ekspresi kang Badi, yang memang polos ucapnya dan kadang memancing tawa.
Ketika ada yang sudah selesai jajan, kemudian bilang tahu bacem 3, sate puyuh 2, bakwan 2, kopi tubruk 1, saat itulah kang Badi siap senam memutar ingatan dan pikirannya, sambil mengerut jidatnya mengulang ulang berhitung jumlah rupiah yang harus dibayar pelanggannya.
Saya yang pas disampingnya melirik menahan senyum, sambil berharap semoga gak kemahalan ngitungnya. Anehnya, sampai sekarang ya ndilalahnya tetap saja ada yang beli dan banyak pelanggannya, meski entah karena rasa iba atau bagaimana batin mereka.
Begitulah panggung pangung kehidupan dengan dialog dialog horisontalnya, yang kadang tak terpikirkan bahwa itulah bentuk kasih karuniaNYA. Delapan bisa dari hasil empat tambah empat, tapi lain waktu bisa empat kali dua, lain waktu lagi bisa juga dari enam belas dibagi dua, tergantung maunya Tuhan akan dibawa kemana.
Dari kacamata sekolah, jelas kang Badi akan kalah karna ijazah SD pun dia tak punya, tapi kalo sudah jadi kehendakNYA tangan tangan Sang Kuasa pun akan menuntunnya.
Ketika ada yang bertanya, saat kang Badi bilang Kalkulatore Gusti Allah, tiada maksud lain, adalah semacam bentuk kepasrahan kedekatan hambaNYA kepada Allah, tawakal batin setelah melewati laku doa dan perjuangan berkepanjangan. Itulah bentuk kemesraan dengan Sang Maha.
Pernahkah kita, manakala menghitung hasil usaha pekerjaan, dengan membandingkan kebutuhan pengeluaran yang dari matematis hitungan real saja tidak akan mencukupi, namun dengan kepasrahan kepadaNYA, akan tercarikan jalan keluar menjadi ringan terlewati, itulah kuasa Allah yang angan pikiran kita tak akan pernah bisa menjangkau kalkulasi prerogatif NYA.
Ada saja, seminggu lagi anak kuliah, dan harus membayar uang semester sekian juta, sementara hari ini sepeserpun kita tak punya pegangan, namun kalau Allah sudah berkenan mengabulkan iya…..kita bisa apa……ya ndilalah ada saja rezeki untuk menutupnya.
Menjelang Subuh, Kang Badi masih dengan senyum ketika saya pamit meninggalkan warungnya. Senyum bagi dia adalah semacam ritual laku yang akan terus menarik pelanggannya….
Tabik. ***