Kang Noorca dan Kang Yudhis 70 Tahun

Noorca dan Yudhis

Di Ruang ‘Indonesia Kaya’, di mall Grand Indonesia, pusat ibukota, Rabu, 28 Februari 2024, petang kemarin kami berkumpul dan menjadi saksi, betapa liat, betapa tangguh mereka, meniti jalan panjang, jalan pedang, sebagai penulis. Dua seniman yang pernah melata dan menggelandang di ibukota di awal 1970an, menjadi samurai kini. Fiksi, laporan fakta sebagai karya jurnalistik mereka tekuni. Mereka gagah menapak usia 70 tahun.

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

KEMBAR ajaib di panggung seni dan jurnalistik ibukota dan Indonesia ini lekat dengan kita selama 50 tahun terakhir. Meniti karir sebagai penulis dan jurnalis, keduanya berjalan seiring dan kompak sejak remaja hingga menapaki 70 tahun, kemarin – dalam khasanah sastra dan literasi pop selama setengah abad lebih.

Siapa yang menyamai mereka di dunia ini? Seniman kembar di sastra dan jurnalistik. Mereka sosok langka. Boleh jadi mereka satu di antara keajaiban di antara kita, Yudhistira ANM Massardi dan Noorca M. Massardi.

Saya pernah menyaksikan sastrawan kembar ini mereka membaca sajak bersahut sahutan di Teater Tertutup di TIM di masa kejayaannya di tahun 1980-an, dan kemarin kembali mereka duet, dalam peringatan 70 tahun usia mereka. Membawakan sajak Dari Sebuah Cafe (Yudhis) dan enfin (Noorca).

Di tahun 1980-an, mereka sudah menjadi bintang – tak sembarang seniman bisa tampil di TIM – saat saya masih reporter pemula. Kini mereka telah menjadi senior, yang masih berkarya di usia senjanya kini.

Senja? Tapi bagaimana mengartikan senja dalam menulis sastra?

“Saya masih merasa 30 tahun, ” kata Noorca, menyambut komentar Seno Gumira Ajidarma, dalam mengantar perbincangan tentang mereka. Juga menanggapi Maman S Mahayana sebagai cendekiawan pengkaji sastra yang mendedah karya terbaru mereka.

Di Ruang ‘Indonesia Kaya’, di mall Grand Indonesia, pusat ibukota, Rabu, 28 Februari 2024, petang kemarin kami berkumpul dan menjadi saksi, betapa liat, betapa tangguh mereka, meniti jalan panjang, jalan pedang, sebagai penulis. Dua seniman yang pernah melata dan menggelandang di ibukota di awal 1970an, menjadi samurai kini. Fiksi, laporan fakta sebagai karya jurnalistik mereka tekuni.

Yudhis kini Pemimpin Umum Majalah Berita Mingguan Gatra dan bertahan di tanah air, sesekali ke Jepang dan Amerika, sedangkan Noorca lama bermukim di Paris. Namanya terpatri sebagai pendiri majalah Jakarta Jakarta, dan redaktur majalah Le Laki selain Forum Keadilan, Vista dan dan majalah lainnya.

Dua buku kumpulan saya terima, usai menyebut nama daftar undangan online. Akhirnya Kita Seperti Dedaun karya Yudhistora ANM Massardi dan Dari Paris untuk Cinta karya Noorca M Massardi.

Dua kumpulan sajak ini menegaskan tentang kepiawaian ke dua dua penyair, bagaimana mereka mengabadikan tempat dan peristiwa menjadi puisi yang indah, kelam dan syahdu.

Saya tiba agak telat, tapi diskusi belum dimulai. Saya mengikuti paparan Seno Gumira Ajidarma dan Maman S Mahayana sejak awalnya. Ruang yang sesak itu nyaris penuh dan wajah wajah yang hadir sangat familiar. Saya duduk dekat dengan Uki Bayusejati, seniman Bulungan, redaktur majalah Amanah.

Usai membaca deretan sajak di tengah acara dengan istilah yang membikin tercenung, dan puyeng (semua dalam bahasa Prancis) akhirnya sampai halaman mengejutkan. Nama saya tercantum di situ, bersama Mas Harry Tjahjono, senior saya. Membanggakan. Sebelumnya catatan saya menjadi bagian buku memoar sastrawan kiri Martin Aleida di usia 80 tahun dan kini nama saya terpampang di buku kumpulan sajak Noorca Massardi.

Sastrawan Seno Gumira Ajidarma bersama sama Maman S Mahayana (tak nampak dalam gambar) memberikan paparan diskusi untuk karya Noorca N Massardi dan Yudhistira ANM Massardi, disaksikan teman teman pecinta seni dan wartawan, juga rockers dan teaterawati Renny Djajoesman yang ikut membacakan sajak mereka. (foto foto dok Rayni Massardi).

Noorca Massardi adalah ‘kyai’ saya di penulisan. Sepantasnya saya mencium tangannya sebagai santri pada kyai, tapi kemarin saya memeluknya erat – menyelamati usianya yang ke 70. Dari jauh dia menjadi panduan dan menuntun saya bagaimana seharusnya menulis. Kebetulan saya pernah bersamanya ke Paris, ke kota dimana dia menapak sejarah.

“Paris adalah kota di mana saya pertama ke luar negeri, keluar Indonesia. pertama saya naik pesawat terbang. Menemui kekasih saya, menikah di sana, sambil kuliah. Membesarkan anak secara bergantian. Tak pernah pergu keluar bersama, kecuali ketika ada mertua datang menengok, ” katanya, mengenangkan. Menjawab pertanyaan Kartini Syahrir mengapa Paris menjadi begitu spesial baginya.

Menyimak dua jam di sana, saya menandai karya Yudhis enak dinyanyikan sebagai lagu. Di tahun 1970an, karyanya memang sudah direkam sebagai lagu Franky and Jane. Sedangkan Noorca enak dibacakan di panggung. Penilaian sekilas dan dari pribadi saya saja.

Bagaimana pun keduanya sangat produktit. Dan magnit karya mereka menebar ke anak dan isteri. Rayni Massardi, isteri Noorca juga menulis, dan menurun ke putrinya, Cassandra. Sisca, isteri Yudhis membaca sajak di panggung.

Sesiapa yang setiap ulang tahun mendapat hadiah puisi ? Aprisca Hendriany selalu mendapatkannya dari Yudhistira Ardi Nugraha. “Saya sering, membayangkan kapan ya ultah saya dapat hadiah berlian? ” katanya berseloroh disambut tawa hadirin. Soalnya puisi menjadi hadiah rutin di ultahnya.

Bergantian, Sri Hastuti, Yuka Mandiri, I Made Suarjana membaca sajak. Juga dinyanyikan oleh musisi. Dan gongnya Renny Jayusman sahabatnya sejak masih gadis di Bulungan. Bukan Renny kalau tidak bikin gerr. Pertama menerikan istilah berbahasa Prancis, langsung bikin penonton tergelak. Terdengar aneh, “Padahal aku sudah susah payah belajar, ” katanya.

Keluarga besar Massardi . Dari si kembar Noorca dan Yudhis, menulariakn kecintaaan mereka pada dunia penulisan kepada anak dan isteri.

I Made Suarjana mendatangi saya sebagai kawan lama. Kami saling kenal di FB dan jumpa untuk pertama kali. Saya langsung meneriakinya, ”Begitulah seharusnya membaca sajak!”

Sungguh jengah dan ill feel bila ada penyair mengucap salam dan shalawat sebelum baca sajak. Penyair dari Bali ini, tidak demikian. Bahkan dia menyeriakan sajaknya, sejak masih di bangku tempat duduknya:

“Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin
kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya kepribadian. Aku bilang biarin
kamu bilang aku nggak punya pengertian. Aku bilang biarin!”

Dia pembaca sajak paling nyentrik petang itu, membawakan sajak ‘Biarin’ karya Yudhis. Dari buku Kumpulan ‘Sajak Sikat Gigi’ yang mendapat hadiah sastra pada 1983.

Kang Yudhis dan Kang Noorca, selamat ultah. Berkah untuk panjenengan sehat di usia 70 tahun. Semoga terus produktif hingga 80 dan 90 tahun, seperti Clint Eastwood di Hollywood. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.