Seide.id – Diambilnya pisau dapur jelek tapi tajam dan masih berbau bawang merah itu. Lalu creess,…darah segar mengalir dari tangan kirinya. Dengan darah segar itu ditulisnya larik-larik mirip puisi, ditujukan kepada sang kekasih cantik yang tega meninggalkannya.
Dengan huruf-huruf kapital, tulisan itu ditorehnya pada dinding papan berwarna putih kusam yang cat-nya mengelupas di sana-sini. Maka gegerlah seluruh kampung…
Kami biasa memanggilnya kang U-ce. Postur tubuhnya tinggi, kurus dan agak melengkung. Rambutnya gondrong, di pangkas model David Cassidy.
Dia adalah andalan kampung kami dalam tim bulutangkis PB Taruna. Kang Uce, pamain single utama, kakakku single ke dua. Smash-nya keras, dropshot-nya mulus, seindah dan setipis stroke I’ie Sumirat. Jika bertanding, terutama dengan lawan yang bertubuh pendek, kang Uce seperti tak banyak membuang tenaga, seperti tak banyak melangkah ’yang tak perlu’ gerakannya begitu efektif. Mungkin karena tubuhnya tinggi.
Setiap latihan kakakku selalu penasaran ingin bisa mengalahkannya. Tapi semakin penasaran, semakin tak kunjung bisa mengalahkannya.
”Kalo masih penasaran, itu pertanda bagus ..latihan terus. Lain hari kita bertanding lagi” katanya selalu, sambil tersenyum-senyum lebar dan menyeka keringat.
Entah bagaimana hubungan kekerabatannya dengan pak En-Ha. Sepanjang ingatanku, kang U-ce tinggal di rumah pengusaha pemilik bengkel las ’En-Ha’. Salah-satu pengusaha terkaya di kampung kami, yang menara air buatan para tukangnya suka kupanjat dan jika Lebaran kami selalu menunggu mercon rentengan yang panjangnya dari atas menara sampai ke tanah itu.
Kang U-ce bekerja di bengkel itu. Sesekali terlihat dia sedang mengelas, kali lain mengukur dan memotong-motong atau membengkokkan besi dengan berbagai peralatan. Macho sekali di mata kanak-kanakku waktu itu.
Kang U-ce mempunyai pacar bernama ceuk E-T. Ceuk E-T konon berasal dari sebuah desa di Jawa Barat antara Garut dan Tasikmalaya. Wajahnya cantik. Kulitnya terang, mulus dan indah khas mojang Jawa Barat. Rambutnya panjang melewati bahu. Jika dia hidup di zaman sekarang, mungkin ceuk E-T layak menjadi model atau pemain sinetron.
Ceuk E-T mengontrak kamar di salah-satu rumah di kampung kami. Jika sekarang namanya anak kost-lah. Dia sering terlihat berangkat kerja di sore hari dijemput kendaraan semacam mini-bus. Kabar bisik-bisik dan miring pun terdengar. Meski bisik-bisik tapi karena semua orang membicarakannya, jadi terdengar santer. Nha ini.. bisik-bisik tapi terdengar santer.
Katanya ceuk E-T kerja di sinilah-disitulah. Katanya jam kerjanya dari jam segini sampai jam segitulah. Katanya jenis pekerjaanya ternyata inilah-itulah. Katanya-katanya-katanya…
Tapi kang U-ce tak peduli. Dia bilang orang-orang yang melontarkan gosip itu (hihi,…itu bukan gosiop kang, itu terlihat setiap hari, ente ngerti arti kata gosip gak seeh?), pasti iri, cemburu dan dengki. Emang sih, banyak sekali pemuda yang iri kepada keberuntungan kang U-ce dan terpesona akan kecantikan ceuk E-T. Kalo menurut bahasa Bojong Kenyot mah: ”As long as we got each other,…f**k the rest” (jika pada tahu huruf-huruf apa saja yang diganti bintang itu, ngapain diganti yak?). Tapi begitulah…
Ke mana-mana, runtang-runtung, gelelang-geleleng mereka selalu nampak berdua, bergandengan tangan bahkan di tempat umum mereka tak sungkan-sungkan berpelukan. Kemesraan yang mereka perlihatkan angat demonstratif.. dan agak.. hihi norak menurutku. Pendeknya mereka layak dinobatkan sebagai ”Pasangan of the Kampung..”
Sampai pada suatu hari warga kampung mendapati kang U-ce ngejoprak, teronggok dengan darah di nadi tangan kirinya. Pisau dapur jelek tapi tajam masih berbau bawang merah dan berdarah tergeletak di sebelah kanan tak jauh dari tubuhnya. Tulisan jelek dengan huruf-huruf kapital di dinding papan paviliun kamar kost kekasihnya. Yang intinya kurang lebih bertanya: ”E-T sayang, kenapa kau tega meninggalkan aku.?”
Cuma Malaikat yang tahu, ceuk E-T pergi ke mana, kapan dan dengan siapa…
Seluruh kampung blingsatan. Kakakku yang dianggap paling akrab dengan kang U-ce ’ketiban-pulung’ menjadi ’koordinator-lapangan’. Tubuh kang U-ce yang tinggi digotong. Lalu dengan menggunakan becak kang Ka-eR dilarikanlah kang U-ce ke poliklinik para atlet Senayan yang selalu stand-by dua puluh empat jam.
Untunglah nyawa kang U-ce bisa diselamatkan.
Tak kusangka. Kang U-ce yang bertubuh jangkung ternyata pikirannya pendek…
(Aries Tanjung)