Oleh Herna S Zaldy
Bagi masyarakat Jawa Barat, orang Sunda khususnya, wayang golek bukan sekadar seni pertunjukkan, tetapi boleh jadi merupakan kehidupan itu sendiri. Dari seni wayang golek orang belajar bagaimana menggunakan bahasa Sunda dari yang paling halus hingga yang paling kasar. Dari Wayang golek orang masih bisa mendengar petatah-petitih, siloka atau nasihat tanpa merasa digurui karena dituturkan dengan indah oleh ki dalang atau haleuang suara merdu tembang nyi sinden.
Seni pertunjukkan wayang golek agak berbeda dengan seni pertunjukan lain yang dilakukan orang sebagai ekspresi puncak kegembiraan sebuah hajatan. Pada wayang golek, selain kuat mengandung niat melestarikan seni tradisi, ada terasa nuansa mistisnya. Ada juga nilai religinya. Bahkan Layang Jamus Kalimusada – yang menjadi pusaka Kerajaan Amarta (Pandawa Lima) tidak lain adalah personifikasi dari apa disebut Dua Kalimat Syahadat.
Selain tontonan, wayang juga tuntunan. Ingat, para wali pencipta wayang, pada awalnya menggunakan sen wayang untuk kepentingan syiar agama (Islam).Tak ada orang Sunda yang kelebihan rezeki saat mengawinkan atau mengkhitankan anak tidak menanggap pertunjukkan wayang golek. “Teu rame hajat teu nanggap wayang. Teu rame wayang mun dalangna sanes ti Giriharja”, kata Maman Suchyar, saudara saya, yang ingin menggelar menikahkan putrinya, tapi urung karena terhalang pandemi COVID-19.
Bahkan tak kurang seorang Harmoko, Menteri Penerangan di era tahun 1980-an, saat merayakan hari Kemerdekaan RI, merasa perlu nanggap pertunjukkan wayang di TVRI. Sejak saat itulah, nama Dalang Asep Sunandar Sunarya dikenal di seantero Nusantara bahkan mancanegara. Dalam sejarah panjang pertunjukkan Wayang golek di Indonesia, barangkali baru dalang Asep Senandar Sunarya yang pernah manggung di Prancis, Amerika dan Jepang.
Pada saat saya mewawancarainya sekitar tahun 1985, kalender di rumah Asep penuh oleh tanda lingkaran, sebagai tanda jadual manggungnya. Dalam sebulan lebih dari 20 angka dilingkari. Fantastis. Orang awam bilang, wayang Asep Sunandar bisa ngudut (merokok). Bisa muntah mie. Bisa kungfu. Yang lengkap, di tangan Asep Sunandar gerakan wayang tampak benar-benar hidup. Terlebih saat berperang (berlaga) atau menari.
Dalam pertunjukkan wayang golek, bobodoran (lawakan) merupakan bagian yang tak terpisahkan. Bagian inilah yang membuat penonton tahan begadang karena kocaknya. Session bobodoran ini biasanya terjadi saat tampil tokoh Semar beserta tiga anaknya, Astrajingga (Cepot), Dewala dan Gareng. Tapi Asep Sunandar mengubahnya – dengan menciptakan “wayang baru” ujud denawa (raksasa), dengan berbagai bentuk, tingkah laku dan suara yang membuat penonton ger-geran tertawa – nyaris sepanjang pertunjukkan.
Alur cerita pada Wayang Asep tidak hitam putih membenturkan permusuhan antara Kurawa dengan Pandawa atau Rama dengan Rahwana, tetapi menyisipkan konflik-konflik internal sehingga cerita wayang lebih manusiawi. Selain oleh skill individunya sebagai dalang, pertunjukkan wayang golek Asep Sunandar juga ditunjang oleh para nayaga (penabuh gamelan) yang kreatif dan reformis. Tabuhan gamelan Wayang Asep benar-benar dinamis, mengiris, membanting-banting sanubari penontonnya.
Ketermasyhuran dalang Asep Sunandar dengan banyak terobosan dan pembaruannya pada akhirnya ikut pula melambungkan nama padepokan tempat asalnya, Giriharja – dari Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung. Di Jelekong, seni pertunjukkan wayang golek dirintis oleh Abah Jauhari, dalang cukup kawentar pada sekitar tahun 1900-an yang mungkin panggungnya masih sederhana, – hanya diterangi lampu teplok minyak jarak tanpa menggunakan pengeras suara.
Abah Jauhari punya beberapa anak, empat orang di antaranya meneruskan profesi sang Abah menjadi dalang: Anda, Aming, Abeng Sunarya dan Lili Adisunarya. Abeng Sunarya inilah yang membuat lingkungan seni (padepokan) Girihardja. Sekarang disebut Pusaka Giriharja, sementara dalan Lili Adisunarya mengembangkan Giriharja II. Abeng Sunarya yang kemudian disebut Abah Sunarya punya beberapa putra, tiga di antaranya menjadi dalang, Ade Kosasih (Giriharja II) , Asep Sunandar (Giriharja III) dan Ugan Sunagar (Giriharja IV). Dari anak-cucu Abah Sunarya ini kemudian berlahiran generasi penerus Dinasti Giriharja yang makin memoncerkan Jelekong sebagai desa penghasil dalang. Di desa ini sekarang terdapat sedikitnya 25 orang dalang – masing-masing dengan kelompok nayaga dengan anggota per grup sebanyak 20 — 25 orang.
Pada masa “normal” semua dalang dengan masing-masing anggota grupnya laju lancar mengais rezeki karena order manggung sambung-menyambung. Tetapi dalam dua tahun setelah, pandemi COVID-19 semua menjadi berubah. Order manggung praktis berhenti total. Bahkan penanggap yang sudah booking sejak jauh hari, menarik uang DP-nya. Desa Jelekkong yang biasa ramai pengunjung — karena sudah menjadi kampung seni yang banyak dikunjungi wisatawan — sekarang sedang prihatin – tanpa kepastian kapan akan berakhir….*