Selaku Wakil Presiden, KH Maruf Amin menyatakan, subsidi haji mencapai sekitar 59 persen. Oleh karena itu, ia menilai perlu ada penyesuaian biaya haji. “Saya kira, kemarin itu subsidi yang diberikan kepada ongkos haji itu terlalu besar, ” kata KH Ma’ruf Amin, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (25/1/2023).
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
JIKA seorang bergelar Kyai Haji, mantan Ketua Majelis Ulama, yang beruntung jadi Wakil Presiden seperti KH Ma’ruf Amin menyatakan, subsidi biaya haji saat ini terlalu besar, sehingga membahayakan dana pokok haji – bayangkan, jika pasal itu ditanyakan kepada saya; warga jelata yang mengharapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan untuk semua penganut agama – tanpa kecualinya.
Sebagaimana BBM, subsidi untuk haji seharusnya dihilangkan. Beli kendaraan saja mampu, kok BBM harus disubsidi negara? Demikian juga ibadah haji yang secara gamblang diwajibkan hanya “bagi yang mampu”. Untuk apa negara mensubsidi perjalanan yang oleh ajaran ditujukan “bagi yang mampu” ?
Subsidi haji bisa dikurangi atau dihilangkan. Agar uang negara bisa disalurkan untuk kebutuhan dasar rakyat yang lain, yang lebih mendesak. Ada banyak fakir miskin, janda terlantar, anak-anak yatim, mereka yang kesulitan membiayai pendidikannya, serta orang-orang yang kehilangan pekerjaan dan tak sengaja menelantarkan keluarga dan anak anaknya.
Selaku Wakil Presiden, KH Maruf Amin menyatakan, subsidi haji mencapai sekitar 59 persen. Oleh karena itu, ia menilai perlu ada penyesuaian biaya haji. “Saya kira, kemarin itu subsidi yang diberikan kepada ongkos haji itu terlalu besar, ” kata KH Ma’ruf Amin, di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (25/1/2023).
Pada 2022, jemaah hanya membayar biaya haji sebesar Rp39,8 juta atau 40,54 persen yang dibayarkan dari total biaya haji. Sisanya, dibayar oleh badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) sebesar 59,46 persen yang diambil dari nilai manfaat dana haji.
Sistem subsidi saat ini tidak bisa dibiarkan, kata KH Ma’ruf lebih lanjut. Dana pokok haji akan terambil dan berdampak pada jemaah haji tahun-tahun berikutnya yang terancam tidak akan mendapatkan subsidi. “Kalau subsidi model seperti kemarin, memang membahayakan, “ jelasnya.
IBADAH HAJI, dalam pelajaran yang kita dapat sejak belia, merupakan rukun Islam ke lima yang wajib dilaksanakan umat muslim jika mampu. Sebab haji tak hanya ibadah yang mengandalkan keimanan batiniah, namun juga fisik yang kuat. Dan tentu saja ongkos yang tak sedikit.
“Wajib dilaksanakan jika mampu” bisa ditafsirkan lain, tidak ada subsidi untuk itu. Karena bukan kebutuhan utama. Tidak harus menabung bertahun tahun, bagi warga jelata yang bisa menggunakan dana berhaji buat mengembangkan usaha dan mensejahterakan diri di hari tua.
Di masa kini ibadah haji sudah dibisniskan, menghidupi pengusaha penerbangan, perhotelan, perlengkapan ibadah, transportasi lokal, hingga penjual oleh oleh. Bahkan jadi modus penipuan.
Ada banyak amalan yang sebenarnya setara dengan ritual haji, namun jarang didakwahkan karena tidak menguntungkan secara material bagi pihak lain. Tidak menguntungkan dari sisi bisnis.
Celakanya, para pendakwah mewajibkan bagi semua umat, dan mendorong mereka menabung bertahun tahun, mengurangi kesejahteraan diri dan keluarga – bahkan banyak rela kehilangan asetnya, menjual harta warisannya, demi ibadah haji.
Rasulullah SAW pernah berkata, “Bertakwalah kepada Allah dengan berbuat baik pada ibumu. Jika engkau berbuat baik padanya, maka statusnya adalah seperti berhaji, berumroh, dan berjihad,” (HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath 5/234/4463 da n Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman 6/179/7835).
“Siapa yang berjalan menuju shalat wajib berjamaah, maka ia seperti berhaji. Siapa yang berjalan menuju shalat sunnah, maka ia seperti melakukan umrah yang sunnah,”(HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).
“Siapa yang berangkat ke masjid yang ia inginkan hanyalah untuk belajar kebaikan atau mengajarkan kebaikan, ia akan mendapatkan pahala haji yang sempurna hajinya,” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).
Bagi penggemar kisah sufi, tentulah mendengar tukang sepatu yang berhaji tanpa pernah ke tanah suci. Karena biaya yang seharusnya dipakai berhaji diberikan kepada warga yang kelaparan.
Buat apa ke rumah Tuhan nun jauh di sana, ketika akhlak mulia yang diajarkan tak dipraktikan dalam kehidupan nyata. Enggan membantu 40 keluarga di sekitar tempat tinggalnya yang menjalani hidup serba kekurangan.
MENTERI AGAMA Yaqut Cholil Qoumas membuat heboh, sebelumnya, lantaran ingin menaikkan biaya haji yang ditanggung jemaah naik dari Rp39,8 juta pada 2022 menjadi Rp69 juta pada 2023. Ini berarti, 70 persen biaya akan ditanggung jemaah, sisanya disubsidi. Menag Yaqut beralasan kebijakan rencana menaikkan biaya haji menjadi Rp69 juta ini diambil untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan.
Ma’ruf tidak mempermasalahkan usul Menag Yaqut. Usul penyesuaian atau kenaikan biaya haji tersebut belum final dan masih akan didiskusikan dengan DPR, kata Wapres RI. Ia menegaskan jika memang harus disubsidi, jangan sampai merugikan calon jemaah haji lain.
Jumlah Rp69 juta adalah 70 persen dari usulan rata-rata biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) yang mencapai Rp98.893.909,11. Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat sebesar Rp29,7 juta. Secara akumulatif, komponen yang dibebankan pada dana nilai manfaat sebesar Rp5,9 triliun.
Tahukah Anda berapa warga miskin yang bisa diselamatkan dengan dana Rp. 5,9 triliun? Berapa unit rumah yang bisa diperbaiki, ibu ibu hamil yang diselamatkan dari ancaman kekurangan gizi kronis (stunting), bea siswa bagi anak anak tak mampu yang berprestasi, memberi jalan bai yatim piatu yang bisa kecukupan untuk mengubah nasibnya?
Belum lagi banyak warga yang pergi haji semata mata gengsi, berharap pengakuan, riya, cari status dan bahkan motif politik demi pencitraan? ***