penulis REGINA PRAMESTI editor MS foto GS
Saya seorang seniman kampung yang kebetulan sangat mencintai jalanan. Asli dari Wirobrajan, Yogya, kini menetap di jalanan di Jakarta. Saking cintanya, saya menyerahkan diri saya untuk hidup di jalanan, bersama anak-anak lain, yang hidup, bekerja, makan dan tidur di jalanan.
Salah satu alasan mengapa jalanan, adalah pentingnya anak-anak di jalanan ada yang menaruh perhatian, dan penyuluhan, terutama perlunya anak-anak berkesenian. Trotoar adalah panggung yang setiap saat hidup ketika ada anak-anak di sana. Di situ pulalah saya harus berada untuk mereka.
Berbagai cara saya tempuh untuk memberi manfaat teman-teman dan anak-anak di sana, Terutama memberi contoh bagaimana bisa mendorong anak-anak jalanan dapat memahami bahwa dengan merasa terbuka dan melakukan sesuatu yang bermanfaat, adalah kebaikan di jalanan yang bisa diraih setiap diri dari mereka.
Hidup di Sampah, Jangan Jadi Sampah Masyarakat
Mereka boleh hidup dengan sampah, namun jangan sampai menjadi sampah masyarakat. Di jalanan, mereka bisa bekerja, hidup dan memiliki karya.
Sejak dini, saya menyemangati mereka agar tidak meminta-minta, meski itu pekerjaan paling mudah dan menghasilkan. Namun masih ada hal lebih baik yang bisa mereka kerjakan; menjual jasa dan berdagang agar ada rasa hormat dari orang-orang sekeliling.
Anak-anak harus memiliki tujuan hidup dan menilai sebuah proses bahwa ketika kita bekerja, kita memperoleh upah dari hasil karya kita. Ini lebih baik dibanding mengadahkan tangan begitu saja.
Kesenian juga perlu diperkenalkan agar meeka memiliki rasa, cinta
Saya memotivasi mereka, agar terjun di kesenian, jual jasa atau berdagang supaya saat mereka mencari rejeki tidak sekedar menengadahkan tangan.
Menggerakkan Petarung Kehidupan
Banyak yang menyebut saya relawan. Bukan Saya bukan relawan. Saya hanya orang yang rela untuk hidup bersama anak-anak jalanan. Untuk mendorong mereka agar berani bertarung untuk sebuah kehidupan. Anak-anak itu adalah petarung kehidupan di tengah kekerasan hidup dan sulitnya penilaian yang diberikan pada orang-orang sekitar. Tapi ini hanyalah masalah waktu. Petarung kehidupan jalanan tak pernah menyerah karena tempaan setiap saaat, setiap hari demi hari.
Apakah pemerintah tak peduli pada kami ? Ada, namun banyak salah sasaran. Sebanyak 70% anak-anak jalanan tidak memiliki identitas jelas, otomatis mempersulit pemerintah untuk memberikan pembinaan secara langsung.
Anak-anak itu adalah anak liar yang beribu malam dan berbapak matahari. Mereka perlu penyemangat hari-hari dan untuk itulah saya ada di sana. Dengan memberikan pendidikan, kesehatan serta tentang pola hidup jalanan yang benar.
Memikul Dosa Warisan
Mereka adalah anak-anak yang memikul dosa warisan dari para pendahulu mereka. Yang telah membiarkan mereka hidup liar dan tak terkendali. Itu sebabnya, ada orang yang harus memberi arah.
Anak-anak ini sejak awal memang memiliki pola hidup yang tak terarah di jalanan. Mereka dibiarkan memilih apa yang tak bisa mereka pilih dalam satu panggung jalanan yang campur aduk; narkoba, seks bebas, makan lem, obat-obatan yang telah meracuni sebagian hidup mereka. Bahkan, ada istilah pernikahan goib yang tak bisa ditolak mengingat di jalanan ini moralitas dipertaruhkan di sepanjang jalanan, trotoar hingga masuk bawah jembatan yang tak jarang disentuh manuisa-manusia yang hidup normal di atas sana.
Itupun belum termasuk kasus-kasus asusila, amoral dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga menyulitkan instansi yang terkait dengan mereka untuk melakukan pembinaan.
Mereka juga manusia yang sadar dan memiikli rasa malu dan punya harga diri. Dan karena tak mampu mengontrol, mereka bisa lampiaskan dengan mabuk agar tampak berani dan tegar. Seks bebas adalah hal yang biasa bagi anak-anak jalanan dan berakibat lahirnya anak-anak tanpa bapak.
Kehidupan Liar di Tengah Kemapanan
Dari sinilah muncul tak terkendali yang namanya penyakit seksual, sipilis, raja singa atau HIV yang diam, tersembunyi dan siap meledak suatu saat.
Itulah kehidupan liar yang menyertai anak-anak jalanan, bagian kecil dari elemen bangsa yang memberi warna di sepanjang jalan dan trotoar. Kehidupan liar di tengah kemapanan. Inilah tantangan yang entah mengapa, menarik diri saya untuk hidup bersama mereka. Untuk mengubah dari pengaruh buruk dan menjadi lebih baik. Antara lain dengan bekerja untuk hidup dan berkesenian untuk jiwa yang terbuka.
Mereka boleh menjadi penghuni trotoar,namun mereka harus memilik tujuan yang lebih jelas dan bermanfaat. Tidak mudah memang, tapi tak ada pilihan lain.
Sangat dihargai usaha pihak gereja yang memberikan pelayanan dan perhatian atas nasib anak-anak jalanan itu. Sayapun terpanggil dengan mengajak anak-anak berdamai dengan Tuhan. Tak lupa, perlunya dongeng-dongeng tentang para pahlawan negeri ini di saat yang mereka butuhkan.
Jika Perut Penuh, Mereka Patuh Pada Siapapun
Untuk itulah, mata rantai kehidupan liar dan menyedihkan ini harus diputus. Spiritualitas tampaknya akan mampu mengatasinya. Saya punya gagasan untuk membuat kapel berjalan untuk anak-anak seminggu sekali. Dimulai dengan yang ringan-ringan saja tentang apa itu kasih. Itupun tidak mudah diserap. Sebab mereka selalu fokus pada perut mereka yang harus diisi. Kalau perut sudah berbunyi, mereka hilang fokus dan berlari untuk memulung. Sayang, saya tidak dilahirkan untuk jadi orang kaya.
Saya sedih jika kiri kanan saya ada yang sakit, bahkan beberapa anak sakit yang harus dipulangkan ke daerah kesulitan, karena tidak mudah mengunpulkan dana di tengah pandemi seperti ini.
Orang boleh punya berbagai solusi mendidik anak-anak atau memiliki landasan agama, namun satu-satunya solusi adalah asal ada nasi bungkus dan jajanan, semuanya selesai. Mereka bisa patuh dan taat menyimak yang kita berikan pada mereka. Itu sebabnya kegiatan ini baru bisa berjalan jika ada nasi bungkus dan jajanan agar mereka fokus dan bisa diam.
Kapel Berjalan di Bawah Jembatan
Pelayanan dari Gereja Kristen seperti GBI Rumah Kasih misalnya sering diadakan perjamuan di kolong jalan atau jembatan di mana ada tempat untuk bisa berkumpul. Mereka dan kami sepakat menyebutnya Kapel Berjalan. Dari jalanan satu, ke jalanan lain.
Sebagian dari mereka itu sesungguhnya pemeluk agama fanatik, meski mereka abangan. Hanya dengan kasih mereka dapat diarahkan dan mampu melunakkan hati mereka. Saya tahu hanya dengan sebungkus nasi, iming-iming surga, mereka bisa taat pada organisasi yang meresahkan masyarakat sembari mabuk kepayang.
Di tengah kesulitan dana, keterbatasan pemahaman itulah saya mencoba melakukan yang bisa saya lakukan. Bagaimanapun, mereka adalah bagian dari bangsa ini.
*Anda dapat membantu penulis ini yang di facebook memakai nama Gerri Sasongko