KAPOLRI Patuh, PENYIDIK KPK membangkang

SM

Supriyanto Martosuwito

Jendral Polisi Idham Azis tak sampai dua tahun menjabat sebagai Kapolri dan dia patuh ketika dipensiunkan. Lalu pulang kampung jadi petani di Sulawesi Tenggara. 

Jendral Polisi Tito Karnavian hanya menjabat tiga tahun sebagai Kapolri untuk kemudian dipindahkan sebagai Mendagri.

Jendral Dai Bactiar diganti sebagai Kapolri padahal masih 2 tahun 6 bulan masa aktifnya di kepolisian. Kemudian dia di-Dubes-kan ke Malaysia. 

Kesamaan dari mereka semua:  para kapolri  –  yakni para jendral yang pernah jadi Kapolri – selaku pimpinan korps kepolisian,   patuh pada atasan yakni Presiden RI yang memiliki hak mengangkat dan memberhentikan Kapolri susuai persetujuan DPR RI (UU no 2 tahun 2002). 

Padahal posisi Kapolri sungguh empuk, sangat bergengsi. Bayangkan,  memimpin 400 ribu hingga 440 ribu personil pasukan bersenjata, yang berlimpah fasilitas dan ditakuti oleh semua pengusaha, politisi dan rakyat. 

Lalu mengapa Novel Baswedan ngotot bertahan di KPK, dan menolak menyerahkan jabatannya setelah bertahun tahun jadi penyidik KPK?  

Mengapa begitu kuat bertahan di posisinya, sebagai penyidik senior,  selama ini? Mengapa dia malah mendikte atasan dan mengatur lembaganya? 

Mengapa Novel Baswedan dkk menganggap KPK sebagai organisasi / lembaga miliknya? 

Setiap abdi negara, khususnya anggota TNI dan Polri dan ASN menjalani sumpah untuk mengadi pada negara,  serta mendedukasikan tenaga  profesionalnya – bahkan mempertaruhkan nyawa – untuk bangsa melalui korpsnya. 

Dengan totalitas sebagai syarat pengabdian kepada bangsa dan negara  –  tokh mereka memiliki keterbatasan dan kewajiban disiplin, paham hirarki yang membatasi masa tugas dan jabatannya itu. 

Menjadi jargon yang sudah dikenal publik : setiap abdi negara siap ditugaskan di mana saja, kapan saja. Penugasan bisa sebagai mutasi dan promosi, penggeseran,  sanksi pembuangan atau pendidikan,  peningkatan jabatan, yang semuanya berpulang  pada catatan prestasi dan reputasinya. 

Karena itu, kengototan Novel Baswedan dan 74  kawannya sungguh amat sangat mencurigakan. Dia sedang ada apa di sana?  Siapa yang sedang dilindunginya dengan jabatannya kini? 

Lebih mencurigakan lagi karena pemberhentiannya terkait oleh tidak lulusnya dalam ujian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). 

Artinya sinyalemen adanya gerakan “talibanisasi” dan “kadrunisasi” yang mengancam NKRI di lembaga antirasuah ini mendekati kebenaran. 

SEBELUMNYA, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 Tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, menyebutkan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Karena itu diatur dalam Peraturan Pemerintah no 41 th 2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN.

UU Nomor 5 Tahun 2014  mengatur syarat-syarat menjadi ASN yakni setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintah. Tak cukup dengan itu, untuk menjadi PNS ada tiga  macam tes, yakni tes intelektual umum (TIU), tes karakteristik pribadi (TKP), dan tes wawasan kebangsaan (TWK).

Pelaksanaan Asesmen Pegawai KPK bekerjasama dengan BKN RI yang melibatkan banyak unsur instansi, antara lain aspek integritas, aspek netralitas ASN, dan anti radikalisme, yaitu Badan Intelijen Negara (BIN); Badan Intelijen Strategis TNI; Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat, Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Materi test dibuat dan dilaksanakan oleh Lembaga Negara yang sah BKN bersama Tim Assesment yang profesional.

Wakil KPK Ali Ghufron menjelaskan, sebanyak 1.351 pegawai KPK mengikuti asesmen TWK sejak 18 Maret sampai 9 April 2021. Tetapi dua orang di antaranya tidak hadir pada tahap wawancara.

Hasilnya : sebanyak 1.274 orang pegawai KPK  lulus Tes Wawasan Kebangsaan dan hanya 75 yang tidak lulus. 

Novel dan 74 rekannya tetmasuk yang tidak lulus. Bagi mereka yang tidak lulus diminta menyerahkan jabatannya. 

Tapi Novel Baswedan dan 74  rekannya  menolak.

Tak hanya menolak, Novel dkk bahkan melaporkan pimpinannya ke  Dewan Pengawas KPK. 

Sebegitu hebatkah Novel Baswedan? 

“Para pegawai yang tidak lulus harus berjiwa besar, karena ini perintah Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 yang sudah diuji di Mamkamah Konstitusi,” ujar Profesor Nur Hasan, Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM),  Sabtu (15/5/2021).

“KPK adalah pelaksana Undang Undang, bukan pembuat Undang Undang, ”  profesor Nur Hasan mengingatkan. Karena itu, KPK melaksanakan segala peraturan perundang undangan selurus-lurusnya. Bukan menggugatnya. 

Ada 1.274 orang pegawai KPK  peserta ujian yang lulus TWK  dan hanya 75 yang tidak lulus. 

Profesor Nur Hasan heran mengapa TWK dipersoalkan dan materi test yang disalahkan. Sebab yang memenuhi syarat justru lebih banyak. Artinya,  alat ukur test wawasan kebangsaan tidak bermasalah. Materi, metode dan alat tes tidak ada yang salah.

“Buktinya banyak yang lulus 1.274 orang dan hanya 75 yang tidak lulus. Harusnya bagi yang tidak memenuhi syarat bersikap ksatria, tidak perlu menyalahkan materi atau orang lain. Harusnya introspeksi ke diri sendiri, kenapa yang lain bisa, saya tidak bisa. Jangan sampai kita tergiring pada opini bahwa 1.274 pegawai yang memenuhi syarat dianggap bermasalah,” tuturnya.

Menjawab pertanyaan,  mengapa acuannya hanya Test Wawasan Kebangsaan, Nur Hasan menjawab : 

“Untuk TIU dan TKP tidak dites lagi karena pegawai KPK sudah bekerja sekian lama di KPK, jadi dua test tidak dilakukan lagi” katanya.  

“Tapi untuk Test Wawasan Kebangsaan yang belum pernah dilakukan, semua pegawai wajib mengikuti. Karena banyak yang lulus, jadi hormati juga hak hak yang lulus,” kata Professor Nur Hasan. 

HENDARDI selaku Ketua Setara Institute menilai, tidak lolosnya 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam alih status menjadi ASN adalah hal biasa dan tidak perlu memantik perdebatan.

“Ada yang lolos dan ada yang gagal adalah lumrah. Jadi tidak perlu memetik perdebatan, jangan jadi Provokator” kata Hendardi, Sabtu (15/5/2021).

Mantan aktivis HAM ini mengatakan, bahwa test ASN biasa dilakukan secara kuantitatif dan obyektif, termasuk biasanya menggunakan vendor pihak ketiga. Hal yang bisa dipastikan adalah bahwa pemerintah saat ini sedang giat menangani intoleransi dan radikalisme yang terus mengikis ideologi Pancasila

“Lingkungan ASN, TNI, Polri, universitas dan sekolah-sekolah, termasuk tentu saja KPK. Siapa pun yang dalam dirinya bersemai intoleransi dan radikalisme, maka bisa saja tidak lolos uji moderasi bernegara dan beragama,” ujar pria kelahiran 13 Oktober 1957 ini.

Menurut dia, siapa pun dalam dirinya bersemai intoleransi dan radikalisme tentunya tidak bisa lolos.

“Siapa pun yang dalam dirinya bersemai intoleransi dan radikalisme, maka bisa saja tidak lolos uji moderasi bernegara dan beragama,” tegasnya.

Seorang penyidik senior yang juga tak lulus TWK, bertanya,  “kurang apa kami ? “

Netizan menjawab pendek di kolom komentar portal media berita : “kurang mawas diri” 

Benar juga. Mengapa para penyidik KPK tidak mawas diri?   Mengapa penyidik KPK yang nota bene “hanya” anggota polisi, jadi “lebih Kapolri dari Kapolri” ? 

Padahal para Kapolri yang ada  patuh saat dipensiunan dini, di komisariskan atau didubeskan. 

Aneh. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.