MENULIS ITU ASYIK (19): Menciptakan Karakter
Oleh BELINDA GUNAWAN
Tahun 2015 ketika aku berdukacita, tuk-tuk-tuk, aku menulis tanpa jeda. Dalam sebulan jadilah buku Rahasia Evalina. Panjangnya sekitar 24 ribu kata, dan terbit sebagai buku 224 halaman. Kok bisa? Ya, bisa, sebab keseluruhan buku ini adalah medley dari sekian banyak tulisanku, yang kurangkai sambung-menyambung, kuelaborasikan, kutambal sana-sini sehingga mulus “jahitannya”. Kok bisa? Karena plot yang kususun memungkinkan hal itu.
Selain itu yang lebih penting, karakternya adalah orang yang itu-itu juga: seseorang yang mirip diriku. Keraguannya, keluguannya, kelemahannya, imajinasinya, caranya berpikir, berpendapat, berperilaku, semua itu tak jauh dari diriku sendiri. Hanya saja apa yang dialaminya ketika mengalami musibah di SMA, jatuh bangun kehidupannya setelah itu, dan seterusnya, adalah rekaan.
Karakter yang mirip aku ini timbul dalam berbagai tulisanku, sebab dialah pribadi yang kukenal betul. Pribadi ini bukan orang jahat, mungkin itu sebabnya sampai saat ini aku belum pernah menampilkan orang jahat sebagai karakter utama (protagonis).
Tapi sesungguhnya karakter dalam sebuah cerita fiksi tidak perlu si baik, Ingat saja film Joker. Joker adalah orang yang “rusak”, yang memiliki kecenderungan tak tertahankan untuk berlaku jahat. Memang ada latar belakang sosial dan prikologisnya mengapa ia bertindak demikian, dan kita boleh saja bersimpati, tapi mau dikatakan apa pun, dia bukan orang baik.
Maka aku sungguh heran, ketika suatu kali aku dibenci seorang pembaca karena karakterku “jahat”. Dalam kisahku ini si gadis mengambil keputusan yang oleh pembaca tersebut dianggap salah, yaitu batal menemui calon pacarnya sesuai janji, setelah tahu pemuda itu tidak memiliki kaki karena kecelakaan. Kisah di Facebook itu menuai banyak komen, satu di antaranya ya, yang tadi itu. Aku dikatainya kejam dan tidak memiliki hati. Lho…?
Karakterku itu mungkin tidak mendewakan cinta, tidak romantis abis, dan mencoba bersikap realistis, tapi ia tidak jahat. Lagipula kenapa aku, penulis, yang dicercanya? Memangnya kenapa kalau si karakter mengambil keputusan itu? Bukankah ia sebagai wanita lajang berhak menentukan masa depannya sendiri, mumpung belum terikat dalam pernikahan?
Anyway, suka-sukalah orang memberi pendapat. Apalagi hanya satu orang yang berpendapat begitu. Di sini aku hanya ingin mengatakan, sebagai penulis kita boleh membebaskan diri dari pendapat orang. Apa yang kita tulis itu fiktif, rekaan, jadi tidak otomatis mencerminkan siapa kita. Karakter kita bisa baik, so sweet, tapi bisa juga culas, cerewet, nyinyir, kepo. Jahat pun boleh.
Bila karakter kita memakai narkoba, umpamanya, itu tidak berarti kita pun “pemakai”. Bila karakter itu membunuh, bukan berarti kita sendiri cukup sadis untuk melakukan tindakan kriminal tersebut. Jadi, biarkan saja tokoh dalam kisah kita berkembang sendiri, merdeka dari diri penulisnya.
Memang sih, bicara itu gampang, melakukannya susah. Betul. Aku sendiri kan sudah mengaku, sampai sekarang karakterku masih belum beragam, lagipula aku tidak pernah menciptakan si jahat. Jadi, ya sudahlah, kalau belum sanggup tidak usahlah memaksa diri menampilkan karakter yang aneh atau sadis. Asalkan, ia atau mereka cukup unik hingga berpeluang melekat di benak pembaca. Seperti kata contekanku kemarin tentang hal ini:
KARAKTER:
Karakter penting dalam sebuah cerpen, sebab kecuali pembacamu merasa terkesan pada karakter-karakter yang ada dalam cerpen tersebut, mereka takkan lanjut membacanya. Tidak semua karakter itu menyenangkan, beberapa mungkin justru menyebalkan. Tapi semuanya harus berkesan, kredibel, realistis, dan menarik. Mereka menampilkan manusia sungguhan yang memiliki kecenderungan suka atau tak-suka, kebiasaan-kebiasaan kecil yang khas. Mendalami karakteristik karaktermu, penting.