Oleh HENRI NURCAHYO
RA Kartini adalah contoh tokoh yang memberi warna pemberdayaan perempuan di Indonesia dan perjuangan pendidikan. Menurut sebuah disertasi di Filsafat UGM, sebetulnya Kartini bukan pejuang emansipasi perempuan tetapi pejuang emansipasi bangsa. Karena pemikiran yang disampaikan melalui tulisannya banyak menginspirasi gerakan kebangkitan nasional. Pernyataan Kartini yang relevan dengan kondisi saat ini adalah: “sekolah dari rumah” adalah: “Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus ikut mendidik”.
Itulah sebagian kecil pernyataan yang terdapat dalam buku: “Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Budaya Nusantara” yang diterbitkan oleh Komunitas Seni Budaya BrangWetan, yang merupakan prosiding webinar.
Dalam buku ini terdapat transkripsi paparan (1) Dr. Antarini Arna, Doktor filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta; (2) Dr. Adriana Venny Aryani, Komisioner di Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan periode 2015-2019 untuk Divisi Pemantauan dan Advokasi Internasional untuk Divisi Pemantauan dan Advokasi Internasional (2015 – 2019). (3) Pinky Saptandari, antropolog dan mantan Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Peempuan dan Anak. Dan juga (4) M. Dwi Cahyono, M.Hum, arkeolog dari Universitas Negeri Malang.
Antarini menyampaikan paparannya mengenai: Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender Dalam Narasi Seni dan Budaya Dalam Konteks Promosi Toleransi. “Kita perlu menarasikan kepemimpinan tokoh perempuan dalam seni dan budaya tradisional dengan pendekatan baru. Bagaimana memberi makna baru konsep maskulinitas tradisional,” tegas perempuan kelahiran Madiun yang menjabat sebagai Senior Advisor on Human Rights snd Gender Justice dan mantan pembela korban Jugun Ianfu dan korban 1965 itu.
Pinky Saptandari yang menyebut bahwa kepemimpinan perempuan selalu dipertanyakan karena kepemimpinan selalu berwajah maskulin. Identik dengan laki-laki. Dunia publik dan politik dianggap dunia laki-laki. Ada dominasi ideologi patriarki dalam masyarakat dalam bungkus budaya dan praktik beragama. Juga rendahnya penghargaan terhadap perempuan dalam balutan konsep ibuisme dan domestikasi perempuan. Dunia ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sejarah selalu berada dalam dominasi patriarki.
Sementara Dr. Adriana Venny menyoroti posisi “Perempuan dalam Mitos-mitos Nusantara” sebagaimana yang menjadi topik disertasinya dalam Ilmu Filsafat dari Filsafat Universitas Indonesia. Banyak mitos atau dongeng yang terkesan mengerikan. Dalam dongeng “Calon Arang” misalnya digambarkan sebagai perempuan buruk rupa yang jahat, menakutkan dan menyebarkan wabah mematikan. Padahal Calon Arang adalah sosok pemberontak yang sulit diatasi oleh Raja Airlangga. Masih banyak contoh lainnya
M. Dwi Cahyono menyodorkan topik “Citra Perempuan dalam Konteks Budaya Panji.” Menurut arkeolog dari Universitas Negeri Malang (UM) ini, filosofi Cerita Panji adalah soal mencari dan menemukan yang direpresentasikan tokoh Raden Panji Inukertapati dan Dewi Sekartaji alias Candrakirana.