Jika media berpegang pada nurani dan akal sehat, media tidak akan tergoda untuk membuka fakta sidang yang dinyatakan tertutup. Foto: Instagram.
Oleh SYAH SABUR
BEBERAPA hari lalu sejumlah media mengungkap fakta baru tentang kasus video “anu” Gisele (Gisella Anastasia) dengan Nobu (Michael Yukinobu De Fretes). Fakta tersebut berasal dari persidangan tertutup kasus asusila yang sempat menggegerkan publik pada 6 November 2020.
Lho kok bisa fakta di sidang tertutup dibuka untuk publik dan diberitakan media? Fakta tersebut diungkap Roberto Sihotang, kuasa hukum PP dan MN, terpidana penyebar video syur tersebut. Roberto geram karena kliennya divonis bersalah serta dihukum 9 bulan penjara dan denda Rp 50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Menurut Roberto, seharusnya kliennya dinyatakan tidak bersalah karena mereka tidak punya maksud untuk menyerang atau merusak nama baik Gisella. Faktanya, PP hanya mengunggah sebuah tangkapan gambar dari video yang didapatkannya ke Twitter.
Karena geram, Roberto pun mengungkap berbagai fakta baru. Fakta itu antara lain soal frekuensi hubungan intim, kota-kota yang jadi lokasi peristiwa, dan frekuensi rekaman. Tentang hal ini, media menyebutnya secara lengkap, sesuai penuturan Roberto, Rabu (14/7/2021) di Jakarta.
Roberto sendiri mengklaim, fakta tersebut berasal dari pengakuan Gisel di sidang. Sang kuasa hukum juga mengungkapkan, penyebar pertama video bukan kliennya, melainkan Gisel sendiri yang mengirimnya kepada Nobu melalui aplikasi airdrop.
Kasus JIS
Sidang tertutup yang dibuka ke publik juga pernah terjadi dalam kasus pencabulan di Jakarta International School (JIS) pada Maret 2014. Tracy Bantleman, istri dari Neil Bantleman, guru JIS yang didakwa melakukan pencabulan, itu mengaku bingung dengan sistem hukum di Indonesia. Tracy mendengar bahwa majelis hakim melarang para pihak di sidang suaminya untuk berbicara materi perkara ke publik, karena sifat sidang yang tertutup. Karena itu, dia heran para pihak bisa berbicara ke publik melalui para wartawan.
Pertanyaannya, lagi-lagi mengapa fakta persidangan tertutup bisa diungkap ke media untuk kemudian diberitakan? Padahal, pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jelas menyebutkan, “Untuk keperluan pemeriksaan hakim, ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Pakar Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir pernah menyatakan kepada hukumonline.com, ada beberapa hal yang perlu dipahami seputar definisi sidang tertutup untuk umum.
Pertama, sidang tertutup tidak memperbolehkan masyarakat untuk masuk ke ruang sidang. “Prinsipnya tidak boleh untuk diikuti masyarakat umum, kecuali pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara pidana,” jelasnya.
Kode Etik Jurnalistik
Sejalan dengan itu, Mudzakir menjelaskan, makna sidang tertutup untuk umum itu berarti materi sidang tidak boleh dipublikasikan ke umum juga. Artinya, media dilarang memberitakan materi persidangan, dari mana pun sumbernya.
Selain itu, kepada media yang sama, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Made Sutrisna menjelaskan, prinsip sidang tertutup tak hanya melarang pihak lain (di luar para pihak yang berperkara) hadir di ruang sidang, tetapi juga mencakup larangan bagi para pihak untuk tidak mengekspose materi persidangan. “Apa pun yang terjadi di persidangan tidak boleh diekspose ke public. Itu prinsip persidangan tertutup,” ujar Made (14/1/2015).
Sebetulnya, Kode Etik Jurnalistik juga mengatur tentang hal ini walaupun tidak secara lengkap. Pasal 4 menyebutkan, Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Selanjutnya, Pasal 5 menyatakan, Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Di luar aturan tertulis, sebetulnya awak media bisa berpegang pada nurani dan akal sehat. Media seharusnya mempertimbangkan dampak psikologis dari berita asusila, baik terhadap pelaku, orangtua maupun anak.
Apalagi di era digital saat ini, ketika semua fakta akan tersimpan di dunia maya, selamanya.
Bayangkan, betapa sedih jika anak pelaku membaca kelakuan orangtuanya yang diungkap di persidangan. Jika media berpegang pada nurani dan akal sehat, media tidak akan tergoda untuk membuka fakta sidang yang dinyatakan tertutup.
Masalahhnya, mungkin karena tidak ada pengaduan dari masyarakat, Dewan Pers pun amat jarang bersuara tentang media yang membuka fakta persidangan yang dinyatakan tertutup.
Akal sehat
Bahkan, Dewan Pers juga seperti tidak peduli ketika sejumlah stasiun televisi ramai-ramai menyiarkan secara langsung sidang Ahmad Fathanah (17/5/2013), dalam kasus korupsi impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS. Dalam sidang tersebut, seorang saksi yang juga mahasiswi menceritakan secara rinci kejadian yang dialaminya di kamar hotel bersama Fathanah.
Karena majelis hakim tidak menyatakan sidang tersebut sebagai sidang tertutup, media pun leluasa melaporkan peristiwa aib bertarif Rp10 juta itu secara langsung alias live report! Media pun untuk kesekian kalinya mengabaikan nurani dan akal sehatnya.
Kembali ke kasus video syur, seharusnya media fokus kepada kelanjutan nasib tersangka Gisel dan Nobu. Walaupun keduanya sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Desember 2020 namun mereka hanya dikenakan wajib lapor tiap Senin dan Kamis. Berkas Gisel juga sempat dilimpahkan ke kejaksaan, namun dikembalikan karena dianggap belum lengkap.
Padahal, dalam kasus ini Gisel dan Nobu dikenakan Pasal 4 ayat 1 Juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Tak main-main, acamannya hingga 12 tahun penjara. ()