“Tidak harus berteriak, karena hal itu membuat orang bisa jadi kaget atau tersinggung. Karena itu, katakan dengan tegas, jelas, dan lembut agar orang merasa dihargai dan bahagia.”
Berbicara sambil berteriak itu tidak sopan, membuang energi, dan tidak menghargai lawan bicara. Kita juga tidak sedang latihan sandiwara. Lebih baik, kita mendekat. Bicara dengan lembut sambil bertatap muka. Kita belajar untuk saling memahami agar semua makin indah.
Jangan bilang, kita terbiasa bicara keras, sehingga sulit berubah. Faktanya, apapun yang di dunia ini mempunyai sifat mudah berubah. Karena perubahan itu abadi, dan ketetapan itu mutlak milik-Nya.
Begitu pula, jangan gara-gara alat canggih semacam HP, komunikasi kita jadi mudah berubah. Bukannya makin dekat karena memendekkan jarak, melainkan karena HP itu makin menjauhkan hubungan kita dengan orang lain.
Coba rasakan, resapi, dan nikmati. Ketika kita berkomunikasi dengan HP. Apakah kita sungguh merasa hadir di hadapan lawan bicara. Sekalipun kita melakukan itu lewat video call.
Kenyataannya, disadari atau tidak, berbicara lewat HP itu tidak seasyik kita ngobrol sambil bertatap muka.
Dengan HP kita kehilangan rasa kedekatan, suasana hati, hingga aura kebersamaan dengan lawan bicara.
Kebiasaan mengandalkan HP membuat kita cenderung egoistis. Kita makin asyik dengan diri sendiri hingga kurang menghiraukan orang di sekitar kita. Sehingga, perlahan tapi pasti, mengikis hati kita dari rasa peduli dan empati pada sesama.
Lebih parah lagi, ketika ada teman, tetangga, atau bahkan saudara yang sakit, kita sekadar berkirim kabar lewat WA yang berisi rasa prihatin, doa lekas sembuh, ikut berduka cita… dan ditambahi emotion.
Tidak hanya menyedihkan, menjengkelkan, bahkan kadang keterlaluan. Ketika terjadi musibah atau kecelakaan, orang tidak cepat tanggap dan berniat segera menolong. Tapi mereka malah mengabadikan hal itu untuk konten dan memviralkannya. Sungguh, tragis dan ironis!
Sejatinya, HP itu sekadar alat bantu komunikasi yang memberi banyak kemudahan lainnya. Ketika HP makin menjauhkan kita dengan orang lain, hal itu harus diwaspadai agar hidup kita tidak dikuasainya.
Caranya, pertahankan dan eratkan tali silaturahmi saling mengunjungi satu dengan yang lain. Kita hadir membangun rasa peduli, empati, dan berbela rasa. Kita ada, karena hidup ini sungguh bermakna agar semua makhluk bahagia.
Foto : Tyler Nix / Unsplash