Oleh HERMAN WIJAYA
KAWASAN Monas sejak puluhan lalu menjadi tempat berkumpul masyarakat. Baik mereka yang ingin berolahraga, rekreasi atau bahkan kegiatan politik. Tempat ini strategis, di pusat kota, diapit oleh Istana Presiden dan Wakil Presiden, Kantor Gubernur DKI Jakarta, intansi militer, Kedutaan Amerika dan kantor-kantor pemerintahan lainnya.
Di masa Gubernur-Jenderal Herman William Daendels (1818) lapangan ini bernama Champ de Mars karena bertepatan penaklukan Belanda oleh Napoleon Bonaparte. Ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Prancis, namanya diubah menjadi Koningsplein (Lapangan Raja). Sementara rakyat lebih senang menyebutnya Lapangan Gambir, yang kini diabadikan untuk nama stasiun kereta api di dekatnya.
Nama Lapangan Gambir kemudian berubah menjadi Lapangan Ikada. Nama Lapangan Ikada baru muncul pada masa pendudukan Jepang tahun 1942. Ikada sendiri merupakan singkatan dari Ikatan Atletik Djakarta.
Di sekitar kawasan tersebut terdapat sejumlah lapangan sepak bola milik klub sepak bola era 1940-an dan 1950-an seperti Hercules, VIOS (Voetbalbond Indische Omstreken Sport) dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas kompetisi BVO (Batavia Voetbal Organisatie). Setelah kemerdekaan, kesebelasan tersebut digantikan oleh Persija. Selain lapangan sepak bola, di sekitarnya terdapat pula lapangan hoki dan lapangan pacuan kuda untuk militer kavaleri.
Pada 19 September 1945, Presiden Soekarno memberikan pidato singkat di hadapan ribuan rakyat di Lapangan Ikada dalam rangka memperingati 1 bulan proklamasi kemerdekaan, dihadiri oleh ribuan massa.
Sebelum Stadion Gelora Bung Karno selesai dibangun untuk menyambut Asian Games IV tahun 1962, Ikada merupakan tempat latihan dan pertandingan PSSI. Pada acara Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2 tahun 1952, dibangun Stadion Ikada di sebelah selatan lapangan ini.
Stadium Ikada didesain oleh pionir arsitek modern Indonesian Liem Bwan Tjie. Diresmikan tahun 1951, Stadium Ikada ditutup pada tahun 1962 dan dirobohkan pada tahun 1963 untuk ditempati Monas.
Di masa Orde Baru, tanggal 5 Juni hingga 20 Juli tahun 1968 Kawasan Monas dibuat untuk Pekan Raya Jakarta, yang pertama kali disebut Djakarta Fair (DF). Idenya muncul atau digagas pertama kali oleh Ketua KADIN Syamsudin Mangan yang lebih dikenal dengan nama Haji Mangan
Gagasan atau ide ini disambut baik oleh Pemerintah DKI yang ketika itu dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin (Bang Ali), karena Pemerintah DKI juga ingin membuat suatu pameran besar yang terpusat dan berlangsung dalam waktu yang lama sebagai upaya mewujudkan keinginan Pemerintah DKI yang ingin menyatukan berbagai “pasar malam”.
Agar lebih sah atau resmi, Pemerintah DKI mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) no. 8 tahun 1968 yang antara lain menetapkan bahwa PRJ akan menjadi agenda tetap tahunan dan diselenggarakan menjelang Hari Ulang Tahun Jakarta yang dirayakan setiap tanggal 22 Juni. Tahun 1992 PRJ dipindah ke Kawasan Kemayoran Jakarta Pusat yang menempati area seluas 44 hektare.
Sejak ditinggal PRJ, Kawasan Monas tetap ramai. Tetapi citranya langsung melorot karena, di tempat itu banyak penjaja seks yang mangkal, pedagang-pedagang kaki lima hingga aksi premanisme dan kriminalitas, terutama pada malam hari. Sampai tahun 90-an keadaannya seperti itu.
Ketika Ir. Joko Widodo (Jokowi) menjadi Gubernur, Monas direnovasi total, tahun 2013. Monas dijadikan Kawasan terbuka hijau, penataan taman-tamannya lebih serius, dan sekeliling Kawasan Monas dipagar, sehingga tidak sembarangan pedagang kaki lima masuk.
Menurut Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menyebutkan, revitalisasi Monas sudah dilakukan oleh empat gubernur. Yakni oleh Sejak Sutiyoso, Fauzi Bowo, Jokowi dan Anies Baswedan. Namun, baru pada era Anies Baswedan revitalisasi tersebut dilakukan tanpa izin dari Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka.
Sampai saat ini Kawasan Monas menjadi salah satu tempat yang dituju masyarakat untuk berolahraga secara pribadi ataupun kelompok, berekreasi dan bahkan untuk kegiatan-kegiatan massal oleh komunitas, kegiatan politik atau kegiatan lainnya. Setiap tahun, utamanya di Malam Tahun Baru, Kawasan Monas dipastikan ramai oleh manusia, karena Pemprov DKI biasanya menyediakan panggung hiburan untuk masyarakat.
Gubernur DKI Anies Baswedan lalu menggagas penyelenggaraan balap mobil Formula E di tempat ini, yang rencananya digelar pada Juni 2020. Untuk itu penataan Kawasan Monas direvitalisasi. 190 batang pohon yang sudah besar ditebang, bagian tertentu diaspal, pengalihan sejumlah ruas jalan untuk trek yang akan menjadi perlintasan.
Sayang pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia membuat penyelenggaraan Formula E terkatung-katung. Padahal untuk penyelenggaraan balap mobil itu Pemprov DKI sudah mengeluarkan anggaran lebih dari Rp.1 triliun rupiah.
Namun demikian, semangat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak pernah surut. Ia tetap akan mengupayakan agar Formula E diselenggarakan di Ibu Kota. Jika tidak ada kendala, balap mobil listrik itu akan diadakan pada Juni 2022 mendatang. Anies yakin lomba ini akan mendatangkan keuntungan Rp.1,2 trilyun.
Dua (2) Fraksi di DPRD DKI – PDIP dan PSI – menentang, dan menggagas interpelasi terhadap Anies. Akan tetapi berkat lobi makam malam di rumah dinas Gubernur, 7 Fraksi lainnya menyatakan menolak interpelasi.
Formula E adalah sebuah ajang balap yang mewah, meski pun beberapa peserta seperti Mercedez Benz dan Audi sudah menyatakan mundur untuk musim ke-8, pada Agustus 2022, karena rugi mengingat lomba ini kurang populer di dunia.
Entah apa yang membuat Anies ngotot. Padahal akibat pandemi Covid-19, Cina, Prancis, dan Korea Selatan, mundur.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah menegaskan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan harus menjaga betul anggaran yang iprioritaskan sebagai fokus untuk pengentasan berbagai masalah di ibu kota. Trubus mengatakan ada empat prioritas permasalahan yang harus dientaskan seperti kemacetan, kampung kumuh, banjir, dan pemberdayaan masyarakat.
Sampai saat ini keempat hal itu masih menjadi masalah utama di DKI Jakarta. Terlebih disaat pandemi Covid-19 ini, beban hidup masyarakat semakin berat. Pengamen dan pengemis – keduanya jadi sulit dibedakan belakangan ini – terlihat makin banyak di Jakarta.
Apakah Jakarta memang butuh ajang balap mobil seperti Formula E agar mendapat untung Rp.1,2 trilyun? Yang benar saja…