Foto : Jamie Street / Unsplash
Lelaki paruh baya itu sujud di balik pintu. Matanya terpejam. Mulutnya bergetar, mengucap doa. Dengan helaan nafas panjang, ia bangkit menuju meja.
Ia mengambil map yang berisi surat-surat rumah, lalu didekapnya.
Sekali lagi ia menghela nafas panjang. Map itu terasa berat di dadanya.
“Terjadilah padaku, menurut kehendak-Mu, ya, Allah,” desisnya lirih, teramat lirih.
Ia termangu, mengamati setiap sudut halaman rumahnya yang luas itu. Ia merasa sangat berat untuk melangkah.
Rumah peninggalan orangtuanya itu terpaksa ia gadaikan untuk biaya pengobatan istrinya. Padahal, orangtuanya mewanti-wanti agar rumah itu sebagai warisan turun temurun, dan sebaiknya digunakan untuk kegiatan sosial. Alasan orangtuanya, agar rumah itu ada roh nya, ramai, karena digunakan untuk kegiatan warga sekitar.
Kenyataannya ia gagal menjaga amanat itu. Sedang kehidupan anaknya yang semata wayang itu sederhana saja, tapi lebih senang tinggal di kota. Anaknya juga mengizinkan, sekiranya rumah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan Ibu.
Sejak istrinya sakit dan opname di RS, praktis warung tempat ia dan istri menggantungkan hidup itu, nyaris terbengkelai. Dagangannya terus menyusut, dan kosong. Tabungannya yang tidak seberapa itu juga habis. Bahkan untuk biaya nebus obat istrinya, ia dibantu, dan sebagian pinjam dari beberapa sahabatnya.
Pagi ini ia terpaksa membawa surat rumah itu untuk digadaikan, karena istrinya telah dinyatakan sembuh oleh dokter. Dan diizinkan pulang, untuk berobat jalan.
“Oo, Bapak & Ibu pergi ke Rumah Sakit. Kata Bapak, ada urusan mendadak,” kata bibik ART itu.
“Ada titipan untuk saya…?” lelaki paruh baya itu tercekat. Denyut jantungnya seakan berhenti.
“Mboten wonten,” bibik itu menggeleng. “Monggo, pinarak. Saya teleponkan ke Bapak…?!”
“Nggak usah. Matur nuwun,” tolaknya sambil menggeleng lesu. Suaranya tercekat di kerongkongan. Ia pamit, melangkah tanpa gairah.
Harapannya runtuh. Pikirnya, setelah memperoleh uang itu, ia langsung menuju Rumah Sakit untuk menjemput istrinya. Apakah sahabatnya itu tidak mau direpoti, atau lupa …?
Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia sungguh sulit untuk berpikir yang lain lagi. Deraan masalah itu membuat dadanya menyesak.
Ia juga tidak mau menyalahkan siapapun. Semua itu harus terjadi, untuk dijalaninya. Dan ia harus berani menerima kenyataan pahit itu, walaupun berat dan sulit!
Kini, ia harus menuju ke Rumah Sakit. Ia akan menemui istrinya, dan bicara sejujurnya. Ia telah berusaha maksimal. Sertifikat rumah yang dibawanya itu sebagai bukti. Bahkan, jika perlu sertifikat itu akan ia gunakan sebagai jaminan di Rumah Sakit demi istrinya.
Dan ia harus berani menyerahkan kenyataan terpahit itu kepada Allah. Ikhlas.
Sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat, lelaki itu menarik nafas panjang untuk menghimpun semangat …
Ia membuka pintu, dan jantungnya berdegup kencang, karena di dalam ruangan itu banyak orang yang amat dikenalnya, bahkan dokter yang berada di dekat istrinya itu! Dan mereka tersenyum kepadanya! Ada apa ini?
“Sori mas, tadi kita buru-buru, sehingga tak bisa menemuimu. Anakku dipercaya sebagai pimpinan di rumah sakit ini …,” jelas sahabatnya itu sambil tertawa renyah.
Untuk kesekian kali mulutnya seperti terkunci saat dokter yang dikenalnya itu menyapa dan menggenggam tangannya erat.
“Pakdhe, siang ini budhe boleh pulang. Surat-suratnya sudah kami urus semuanya,” jelas dokter Sunar.
“Terima kasih, kami sangat merepotkan kalian semua…,” katanya terharu sambil menghormat pada semua sahabat yang hadir di ruangan itu.
Lelaki itu memejamkan mata. Tak terasa air matanya mengembang. Beban yang menghimpit jiwa itu telah terangkat diganti sukacita.
“Tak ada yang mustahil bagi Allah, ketika kita percaya, mengimani, dan berserah pasrah pada-Nya.”