Foto : Ri Butov/Pixabay
Oleh: Fr. M. Christoforus, BHK
Dalam legenda Hindu dikisahkan, bahwa dahulu kala, sang manusia memiliki pengetahuan seluas layaknya para dewa.
Namun, alangkah kecewanya para dewa karena ternyata sang manusia telah menyalahgunakan keunggulannya sebagai makhluk berpengetahuan setara para dewa dengan bersikap angkuh serta membusungkan dada.
Apa lacur, akhirnya para dewa mencabut keunggulan pengetahuan itu dan menyembunyikannya.
Para dewa pun berunding, di mana pengetahuan itu akan disembunyikan? Di dalam dasar bumi, tanah? Di dasar laut? “Ah, jangan, kelak sang manusia akan menjelajahi dasar bumi, tanah, serta dasar laut.
Akhirnya, di manakah pengetahuan itu pun disembunyikan?
Dewa Brahma, memohon para dewa, agar pengetahuan itu disembunyikan di “dalam relung hati sang manusia.”
Dan konon, sejak itu, hadirlah sang manusia yang mahaarif serta maharendah hati di atas bumi maya ini.
Saudara, begitulah tabiat sang manusia. Diberi sesuap nasi, maunya sepotong roti. Disuguhkan segelas air, maunya secangkir anggur merah.
Apa dan mengapa sesungguhnya yang terjadi?
Apa esensi dari realitas pahit pedih ini? Keangkuhan? Kerakusan? Sikap memonopoli? Ya, …mungkinkah sang manusia itu kehabisan anggur ketulusan serta sikap rendah hati?
Saya teringat akan kisah alkitabiah, bibel, akan tragedi keteledoran serta sikap tak tahu diri di taman impian Eden.
Sang Siti Hawa serta sang manusia Adam, yang mudah terbujuk rayu sang iblis laknat. Gawat.
Sang manusia, siapakah engkau? Sang manusia, dari manakah engkau? Dan sang manusia, hendak ke manakah engkau?
Sepotong sejarah, secara kronologi memang akan selalu terulang.
Membaca sepotong sejarah hari-hari ini, bagaikan membalikkan lensa kamera dunia…
Tiada yang baru di kolong langit kehidupan ini, segala sesuatu senantiasa berbuah ranum, dicicipi dari generasi ke generasi, dicermini dari Adam hingga ke cucu cicitnya…
“Absurditas… oh sang absurditas, … sia-siakah ziarah sang cucu sang adam di kolong langit?”
Malang, 24 Agustus 2022
Menggali dan Memahami Warisan Kearifan leluhur – Menulis Kehidupan 224