Dulu, sewaktu kecil, kita sering ditanya oleh orangtua, Ibu Bapak guru, atau tetangga: “Kalau besar, mau jadi apa?”
Ada di antara kita yang menjawab: Jadi dokter, insinyur, arsitek, pilot, dan seterusnya. Lalu kita diacungi jempol, dibilang hebat, keren, wow, dan sebagainya.
Kita bangga. Dada pun langsung mengembang. Tubuh kita seakan melayang di udara.
Anehnya, dan entah karena apa, tidak ada orang yang menanyakan hal itu pada saya. Dan ini saya anggap sebagai keberuntungan. Jujur, karena saya tidak mempunyai cita-cita. Bahkan saya tidak pernah membayangkan masa depan sendiri, kecuali hidup itu mesti dijalani. Urip iku urup, hidup itu harus bermakna dan berguna bagi sesama.
Kini, jika ada teman menanyakan usaha atau profesi saya, mereka bakal kecewa dan tidak percaya. Profesi saya tidak keren, wow, atau membuat orang jadi berdecak kagum. Profesi ini juga dipandang sebelah mata dan tidak diminati. Apa itu?
Pewarta Kebaikan!
Nah, pasti mengernyitkan kening. Heran, bingung, bahkan bisa jadi salah tafsir, untuk mengartikannya.
Pewarta kebaikan ini berbeda dengan mereka yang menekuni bidang keagamaan. Karena bidang yang saya tekuni itu spesialis menulis hal-hal baik dan positif serta mensyeringkan untuk dibagikan.
Saya bukan pewarta berita. Dan tidak terikat oleh suatu penerbitan atau instansi. Jadi saya tidak digaji, tapi memperoleh anugerah Allah yang luar biasa.
Bagaimana tidak. Hasil pencapaian saya semua ini bagai mimpi, dan di luar nalar.
Berbagi dengan ikhlas itu bagai orang mengail. Umpannya kecil, tapi hasilnya besar.
Hal itu yang saya tekuni dan jalani hingga saat ini. Bagi saya tidak ada waktu untuk tidak berbagi. Maksud saya, berbagi itu tidak melulu lewat materi. Tapi bisa juga lewat empati, belarasa, tenaga, pemikiran, dan sebagainya.
Prinsipnya adalah saya, dan kita semua diajak hadir untuk mereka yang tengah berduka, terkena musibah, atau berbeban berat. Dengan dukungan, penghiburan, dan peneguhan jiwa agar beban mereka merasa diringankan.
Sebagai pewarta kebaikan, kita mestinya memberi dengan hati. Sehingga, ketika dicela, dikomplain, dihina, atau bahkan sekalipun tidak dipercaya tidak langsung mutung, patah semangat, dan putus asa.
Kebaikan itu ibarat orang bernafas, dan itu untuk menghidupi.
Kebaikan itu tidak membutuhkan pembelaan. Kendati perbuatan baik itu dilumpuri kotoran, difitnah, atau dikhianati. Perbuatan baik itu tidak kehilangan makna dan nilainya.
Begitu pula, di medsos, ketika orang-orang baik dilecehkan dan dibombardir dengan pemberitaan jelek, jahat, atau hoax. Kita diajak berbesar hati. Jikapun ingin menyanggah, kita tidak menyerang balik dan membalas dendam. Tapi kita tetap konsisten jadi corong kebaikan.
Sejatinya, kedewasaan pribadi seorang itu ditentukan oleh kemurahan hatinya yang mudah memaafkan dan mengampuni sesama tanpa diminta. Jiwa yang mengasihi…
Foto : Pixabay