“Kebangetan Lu Pada, Coy…!”

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Saya lagi bersepeda santai keluar masuk gang ketika di kampung sebelah saya dapatkan Mak Wejang sedang tolak pinggang ‘menghadapi” segerombol orang tua-muda kongkow di pelataran deket pos ronda. “Lu tu yeee…! Udah pada bangkotan, kok asyik banget ngobrol nggak pada pake masker? Apa elu pada nggak takut saling nularin penyakit? Ih, kebangetan lu pada, Coy…! Zaman kalabendu begini…”

Mak Wejang tak sedang marah. Dia sekadar ingatkan lagi bahwa kini, masker ibarat sembilan bahan pokok yang kudu dibawa dan dikenakan kapan pun aktivis ke luar rumah. Peraturan wajib pakai masker dikeluarkan banyak negara sejak pandemi Covid-19 nongol di awal 2020. Para ahli meyakinkan, pakai masker disertai jaga jarak dan rajin cuci tangan, jadi cara efektif cegah penularan virus termasuk virus corona.

Elu kan orang pinter padaan, anak sekolahan. Coba deh elu-elu pada ‘klik’ tuh yang namanya Google, lu pasti akan nyaho perlunya pake masker, Nggak ujug-ujug muncul eni hari, Coy…! Masker tuh udah dipake Nyak Babe kita sejak baheula, ratusan tahun lalu. Masker ngalamin perkembangan dari zaman ke zaman. Ya bahan dan, modelnya, juga kenapa kita kudu make masker,” papar Mak Wejang.

Bocah bocah aja pada pakai masker CoyFoto foto Heryus Saputro

Mak Wejang betul. Banyak info menyebut guna masker dipakai orang sejak abad ke-6 SM, seperti artefak gambar orang pakai kain menutupi mulut, yang ditemukan di pintu makam Persia. Begitu juga di Jepang yang sejak berabad silam sudah kenal budaya masker. Para ninja misalnya,memakai masker bukan sekadar penutup wajah agar tak dikenali, tapi juga untuk menolak racun yang mungkin ditebar musuh ke arahnya,

Marco Polo, penjelajah Italia abad ke-13, dalam buku catatan The Travelers of Marco Polo, seperti dikutip Global Time, menyebut bahwa di masa Dinasti Yuan (1279 -1568) di Tiongkok. para pelayan yang melayani kaisar saat makan selalu memakai penutup hidung dan mulut, berupa selendang tenun sutra dan benang emas, yang diyakini bisa menjaga nafas pelayan agar tak mempengaruhi bau dan rasa makanan.

Saat wabah Black Death menyebar sampai ke Eropa di abad ke-14, ini juga mendorong masyarakat menggunaan benda berbentuk mirip masker wajah. Lalu di abad ke-16, seorang dokter Perancis Charles de Lorme merancang masker shutterstock, mirip bentuk paruh bangau. Sebagai kelengkapan, dia juga memasang kaca di rongga mata guna memastikan jarak pandang.

Di bagian ujung paruh dia letakkan parfum, rempah-rempah, obat-obatan wangi termasuk daun mint dan kamper dari Barus Indonesia, guna menyaring penyakit. Masker paruh itu lantas dilengkapi topeng, topi, syal, jubah, celana panjang, sarung tangan, sepatu dan tongkat berjalan. Gaya busana ini populer sebagai setelan paruh, dan lantas jadi simbol kematian menakutkan gegara wabah yang meluas zaman itu.

Masih ingat Leonardo da Vinci? Pelukis kelahiran Anchiano Italia 15 April 1452, Anchiano, Italia, dan wafat pada 2 Mei 1519, Clos Lucé, Amboise, Prancis ini pernah kasih usulan perendaman kain dalam air lalu meletakkannya pada wajah untuk menyaring bahan kimia beracun yang akan mengganggu sitem pernapasan manusia. Metode ini masih efektif dan banyak dipakai dalam panduan keluar dari kebakaran.

“Masih banyak kisah soal masker, Coy…! Dari sejak wabah pes melanda dunia tempo doeloe, sebabkan Black Death yang tewaskan tutaan jiwa, sampe masker yang sekarang, tiap keluar rumah, kudu kita pake dengan baik dan betul. Tuh, contoh anak-anak balita di kampung Bang Warta, semua pada pake masker. Apa bangkotan kayak elu pada nggak malu sama anak piyik…?” kata Mak Wejang. ***

19/07/2021

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.