Para pemimpin ASEAN di masa lalu, nampak Lee Kuan Yew (Singapura) , Soeharto (Indonesia) dan Ferdinand Marcos (Filipina) .
Oleh DIMAS SUPRIYANTO
NEGARA negara ASEAN, khususnya Singapura, Filipina dan Indonesia pernah melewati pemerintahan otoriter. Diperintah oleh diktator, penganut paham otoritarianisme. Perdana Menteri Lee Kuan Yew ( memerintah sejak 1959 hingga 1990), Presiden Ferdinand Marcos (1965 – 1986) dan Presiden Suharto (1967 – 1998) adalah diktator di negara masing masing, pada masanya. Memerintah dengan tangan besi.
Tiga pemimpin Asia Tenggara ini sama sama mengekang kebebasan warganya, namun beda hasil di antara mereka. Singapura menjadi negara yang sangat kaya, sedangkan Filipina dan Indonesia hanya sedikit naik peringkatnya – sekadar keluar dari negara miskin. Sebaliknya masih dilekati predikat, negara terkorup.
Banyak orang memuja kebebasan sebagai ukuran kemajuan demokrasi. Tapi banyak kebebasan yang diberikan ternyata tak menolong keadaan. Bahkan kebebasan ditafsirkan bebas menghina dan menista mereka yang tak disukainya.
Singapura kini menjadi negara kecil makmur dan bersih dalam banyak hal, bersih kotanya, bersih administrasi dan keuangannya. Bahkan dijuluki negara terbersih dan salahsatu negara terkaya di dunia. Tapi Singapura juga dikenal sebagai negeri banyak larangan; dilarang merokok di ruang publik, dilarang meludah, dilarang membuang sampah sembarangan, membuang permen karet, dan banyak larangan lainnya.
Banyak orang memaklumkan dan memberikan pembenaran dengan menyebut Singapura negara kecil dan sedikit penduduknya. Tapi Suriname, Bolivia, Guyana , dan Venezuela juga kecil dan tetap miskin. Timor Timur – setelah referendum dan lepas dari Indonesia – juga kecil dan sedikit penduduknya dan hampir jadi negara gagal.
HINGGA HARI INI, negeri kita tercinta punya masalah dengan korupsi, kolusi dan nepotisme – warisan rezim Soeharto yang tak kunjung hilang. Bahkan makin menjadi jadi. Keturunannya yang menikmati hasil korupsi dan penyalah gunaan ayahnya, masih berjaya, menunjukkan ekspresi tidak bersalah.
Pernah ada KPK – Komisi Pembrantasan Korupsi – yang menangkapi para koruptor, membekuk, tangkap tangan – penuh kejutan – dan rakyat bergembira. Tapi koruptor yang ditangkap belakangan tetap senyum senyum, dan KPK kemudian membusuk. Gertak gertak belum ada hasil. Ada Gubernur di ibukota – berjarak sepelemparan batu – terang terangan korupsi cenderung dibiarkan.
Selama puluhan tahun masa kekuasaan Suharto dan kroninya korup. Demikian juga Ferdinand Marcos. Gaya hidup isterinya, Imelda Marcos jadi sorotan dunia. Hingga kini mereka dikenang sebagai pemimpin Asia, bahkan pemimpin dunia, yang terkorup.
Bila Lee Kuan Yew membatasi kebebasan warganya untuk membangun negara di wilayah nelayan miskin untuk kemajuan ekonomi rakyatnya, Suharto dan Marcos membatasi kebebasan warganya untuk memperkaya diri.
Ada banyak negara yang tidak bebas tapi makmur. Arab Saudi dan Korea Selatan juga tidak bebas. Tapi makmur sejahtera. Terutama China, negara yang selalu dituding Barat sebagai pelanggar berat HAM, ketat membatasi warganya. Kini jadi negara yang sangat makmur.
Jelas, kebebebasan diinginkan semua umat manusia dan warga negara. Jadi untuk apa kebebasan? Untuk kemajuan, kesejahteraan bersama. Melekat pada kebebasan juga ada tanggung jawab, sebagaimana ada hak, ada kewajiban. Bukan hanya kepada keluarga, negara, juga kepada tuhan. Itulah hakiki nilai yang melekat kepada setiap manusia.
Sebagai jurnalis era 1980-‘90an saya menyimak bagaimana perfilman mengalami pembatasan – sensor – tabu – sama dengan ekspresi seni yang lain. Tapi ketika kebebasan diberikan, utamanya setelah reformasi – tak banyak menghasilkan karya kritis yang membanggakan, sebagaimana yang dituntut sebelumnya.
Republik Islam Iran dikenal sebagai negeri Mullah, negeri yang ketat membatasi ekspresi para senimannya. Tapi film film mereka menjadi tamu tetap di Cannes Internasional Festival, di Prancis; festival film paling bergengsi di dunia.
Dibidang panggung politik kita – kebebasan kini nyaris tanpa batas; keras teriakan pencaci maki, penista pejabat dan kepala negara, di media sosial yang bisa diakses publik. Umumnya dari politisi, LSM, dan aktifis yang mendapatkan posisi. Mahasiswa yang sedang mencari identitas. Sekadar mencari cari perhatian. Sedikit yang kena sanksi.
Orang orang beragama, mengatasnamakan agama, punya pendidikan agama dan punya massa, bahkan menggunakan dalih dakwah dan penyebaran ajaran suci agamanya untuk menista dan menghina agama lain.
Jadi apa guna mempersoalkan penghapusan mural? Seolah olah kalau tidak bisa bikin mural – yang menghina orang, pejabat dan kepala negara – hilang kebebasan dan kita semua akan sengsara.
Menghina atas nama kritik adalah tindakan pengecut yang tidak mengundang simpati. Sebaliknya, mengundang antipati. Nenek moyang kita membuat bahasa simbolik, sanepo, pasemon, pantun, gurindam, dll. Mengapa peradaban jadi mundur?
Belum tentu juga yang mengritik, membuat mural, sudah melakukan sesuatu yang berguna untuk diri keluarga, lingkungan dan bangsanya.
Tapi, nampaknya, naluri mereka yang berkesadaran tahap awal lebih suka menyalahkan orang lain ketimbang intropeksi. ***