Kecerewetan Saya Sebagai Jurnalis

Syah Sabur

Sebagai jurnalis, saya telah dipensiunkan oleh perusahaan. Tapi, perusahaan tak bisa membunuh jiwa saya sebagai jurnalis. Sikap cerewet bagi saya hanya upaya saya untuk memelihara akal sehat dan saya harus terus merawat akal sehat selama saya masih bernyawa

OLEH SYAH SABUR

SEBAGAI jurnalis di Metro TV, saya sudah dipensiunkan pada 2018, hingga diperpanjang 3 tehun sampai 2021. Namun, hingga kini dan sampai kapan pun, jiwa saya masih jurnalis. Karier boleh pensiun tapi bagi saya, jiwa tidak mengenal pensiun selama raga masih bernyawa.

Jiwa menulis saya juga tidak padam saat saya kena stroke ke-3 seperti saat ini. Padahal, saya harus tertatih-tatih untuk menulis, karena saya hanya bisa nulis memakai Hp karena saya belum bisa memakai laptop.

Karena itulah, pikiran saya masih terganggu oleh berbagai hal yang sayangnya kurang mendapat perhatian media. Beberapa hal tersebut diantaranya rencana Prabowo untuk memberi mobil Maung bagi anggota kabinet dan sejumlah pejabat tinggi. Hal tersebut rasanya bertentangan dengan pernyataan Prabowo yang ingin menyejahterakan rakyat kecil.

Padahal total ada sekitar 100 orang yang akan mendapat jatah si Maung yang berharga Rp1,4 m per unit di tengah ekonomi negara yang sedang tidak baik-baik saja dan jumlah orang yang kena PHK terus bertambah. Tapi, apakah media mengkritisi isu tersebut?

Sejauh yang saya tahu, rasanya tidak ada. Minimal tidak ada media yang sungguh-sungguh mengkritisinya.

Ada pula pernyataan Prabowo yang tidak merasa berdosa atas makin meluasnya perkebunan sawit. Alasannya, pohon sawit sama dengan pohon lain dan tidak akan merusak lingkungan. Padahal sejumlah pakar menyatakan, sawit jelas beda dengan pohon lain karena sangat merusak lingkungan, bahkan sejumlah pihak menyebut rencana Prabowo untuk memperluas perkebunan sawit sebagai bencana ekologi. Karena itu, banyak negara maju memutuskan agar sawit tidak lagi dizinkan sebagai bahan minyak.

Lalu, apakah media berteriak untuk isu sawit? Jawabannya, hampir semua media diam seribu basa.

Isu lain saat KPK menetapkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus Harun Masiku. Saya bukan pendukung Hasto atau PDIP. Namun ada hal yang amatmengganggu pkiran saya, mengapa KPK menganggap kasus Hasto seolah merupakan hal besar. Padahal di saat yang sama, banyak kasus korupsi lain dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar, ratusan miliar hingga triliunan yang melibatkan para pejabat tinggi negara. Padahal nilai korupsi Hasto bisa disebut receh dan Hasto bukan pejabat tinggi negara.

Pagar laut dari bambu di kabupaten Tangerang yang menghebohkan itu . foto :VoI

Isu lain yang ramai di masyarakat adalah tentang pagar laut di Kabupaten Tangerang yang merugikan semua nelayan kecil. Anehnya, pagar sepanjang 30, 16 km itu konon tidak diketahui pejabat berwenang walaupun sudah berdiri sekitar 5 bulan. Baik Bupati, DPRD, Camat maupun lurah sama sekali tidak bertindak atau bersuara.

Setelah beberapa bulan, barulah KKP bertindak dengan cara melakukan penyegelan. Namun KKP mengaku tidak tahu motif dan pihak yang membangun pagar. Karena itulah, KKP memberi waktu 20 hari kepada pihak yang membangun pagar. Jika 20 hari tidak ada tindakan, kemumgkinan KKP skan membongkarnya.

Aneh, mengapa perlu 20 hari untuk mengetahui siapa pihak yang membangun pagar. Padal KKP punya aparat untuk menyelidikinya. Dengan mudah, KKP bisa telepon Bupati, Camat atau Kepala Desa agar masalah delesai dalam 2-3 hari.

Yang tak kalah aneh, media pun tidak mempertanyanyakan mengapa KKP perlu 20 hari untuk mengetahui pihak yamg membakar dan motifnya. Padahal, ratusan atau ribuan nelayan sudah menderita akibat adanya pagat tersebut.

Akhirnya salah satu media bertindak setelah saya memberiksn masukan dengan menelepon salah satu sahabat saya di media tersebut. Seorang teman pun berkomentar atas sikap yang cerewet pada beberapa isu tersebut

Dia bahkan menyarankan saya tidak cerewet karena saya sudah pensiun. Menurut dia, lebih baik saya melakukan hal yang menyenangkan. Mungkin dia tidak tahu, bersikap perduli bagi saya adalah hal yang menyenangkan. Saya cukup senang jika saya bisa dan boleh memberi masukan kepada teman yang masih aktif sebagai jurnalis di tempat saya pernah bekerja.

Tentu saya akan lebih senang jika masukan saya diterima dan jadi bahan liputan. Bagi saya, hal itu sama menyenankan ketika saya beberapa waktu lalu bisa naik paralayang, hanya 2 bulan saya sembuh dari stroke kedua.

Itu pengalaman.pertama naik paralayang. Wong naik genteng di rumah aja saya gemetaran.

Lalu, mengapa saya harus cerewet terhadap sejumlah isu yang bukan lagi tanggung jawan saya karena saya sudah pensiun?

Sekali lagi, saya bisa dipensiunkan oleh perusahaan. Tapi, perusahaan tak bisa membunuh jiwa saya sebagai jurnalis. Sikap cerewet bagi saya hanya upaya saya untuk memelihara akal sehat dan saya harus terus merawat akal sehat selama saya masih bernyawa.**

Avatar photo

About Syah Sabur

Penulis, Editor, Penulis Terbaik Halaman 1 Suara Pembaruan (1997), Penulis Terbaik Lomba Kritik Film Jakart media Syndication (1995), Penulis berbagai Buku dan Biografi