Dulu, sekitar 30-an tahun lalu, aku ditugasi kantor ke Negeri Kangguru. Aku dan seorang teman yabg sudah almarhum (Al Fatihah untukmu Rea), ikut dalam rombongan penyanyi dan pelawak. Penggagas acara “Kesenian Indonesia di Australia” itu dan beberapa penampil senior pun sudah almarhum. Salah seorang pelawak kini menjadi politisi.
Dulu, ketika melawak, kita atau paling tidak aku, tertawa mendengar lawakannya. Sekarang setelah menjadi politisi, meski kadang mencoba bergurau ketika berbincang dalam suatu acara, gurauannya terasa tak lucu. Memang tak seorang pun bisa melawan waktu, bukan?.
Tugasku unik. Membuat laporan perjalanan bukan dengan tulisan, melainkan dengan corat-coret gambar kartun.
Setelah satu minggu lebih sedikit, rombongan pulang. Tapi, aku nekad. Aku bilang kepada teman yang sudah almarhum itu, “Aku masih betah di sini, belum ingin pulang. Bilang kepada bos, gue masih betah di sini, jangan dipecat dulu.” Haha, untunglah pemredku “cukup gila” untuk membiarkanku runtang-runtung selama sebulan!
Suatu hari, penyanyi senior yang apartemennya aku tumpangi (juga sudah almarhum), “menantangku” memasak.
Dia bilang bosan setiap kali memakan makanan jadi dengan niat: “yang penting perut terisi”. Aku bilang, aku akan coba mengingat-ingat masakan ibuku ditambah dengan improvisasi.
Beberapa blok dari apartemennya ada toko milik orang Viet Nam yang menjual bahan baku masakan Asia yang pasti cocok dengan selera kita. Bahkan, jika beruntung, “Pete aja ada,” kata ia.
Maka, berbelanjalah aku di toko milik orang Viet Nam itu. Kangkung, bumbu-bumbu seperti: bawang merah/putih, cabe merah/ijo, bawang daun, ikan layur kering tak terlalu asin, tahu dan kerupuk. Kangkung aku tumis.
Ikan layur, aku goreng ditingkah dengan cabe ijo dan bawang putih nyemek-nyemek. Kerupuk digoreng dulu (ingat kaya Ibu), sebab jika tahu digoreng dulu lalu menggoreng kerupuk, kerupuknya tak bisa mengembang dengan maksimal.
Lalu, sambal diulek kasar. Waktu itu sang pemilik apartemen sedang ke luar mengurusi kelanjutan kontraknya di kantor sebuah restoran (si akang penyanyi senior itu mencari nafkah di rantau dengan menyanyi sambil bermain piano).
Ketika ia pulang, pas masakanku selesai. Sebelum mencicipi masakanku, enak atau tidak, melihat masakan “kampung halaman” terhidang lengkap: tumis kangkung, ikan layur kering cabe ijo, tahu, kerupuk, sambal dan nasi putih, mengepul-ngepul mengundang selera, si akang terkesima.
“Ini semua kamu yang masak?”… (ya iyalaaah… memang ada dua orang lagi yang tinggal di apartemennya, seorang pemuda dari Medan dan Fiji, menyewa kamar).
“Waaah… ini mah mewaaah. Kamu bisa survive di sini sebagai pengusaha restoran!”
Lalu, kami makan dengan lahap dan-tentu saja seperti orang Indonesia umumnya–berkeringat…
Aku pernah diberitahu bahwa seorang chef itu pasti memiliki jiwa seni. Ada chef yang penampilan penyajian makanannya biasa saja, tapi rasa masakannya huenaak sekali.
Ada chef yang rasa masakannya standar saja, tapi penampilan penyajiannya artistik.
Nah, menurut istri, masakanku lumayan enak. Tapi, setiap kali memasak, dapur rumah kami jadi:… “Berantakaaan seperti kapal pecah!” (Wah sudah jarang kita dengar ungkapan itu).
Beberapa waktu lalu, suatu hari aku kepingin mi instan. Biasanya jika memasak mi instan. Untuk “sugesti menambah gizi” selain putih telur (konon kuning telur banyak kolesterolnya!), biasa aku tambahi: tomat yang banyak, bawang Bombay dan kol atau toge dan nhaa ini yang sedap… teri nasi atau teri Medan sisa semalam.
Ketika hendak mengambil bawang Bombay yang terletak di rak di bawah lemari gantung dapur, aku agak terkesima. Ternyata, dalam semalam atau dua malam, bawang Bombay yang terpotong di tengah itu tumbuh!
Tepat di tengah-tengah kelopak bawang Bombay yang seperti berpilin-pilin itu mencuat dua buah (wah apa istilah yang tepat: lembar? helai?) putik daun yang siap tumbuh. Padahal, bawang Bombay itu tergeletak begitu saja di sebuah piring kecil, bukan di tanah.
Seperti kelapa yang seandainya tergeletak atau hanyut terbawa air laut, isi buah kelapa dan umbi-umbian lain akan “memberi makan” calon dedaunan yang menggeliat tumbuh.
Sementara itu, akarnya merambah, menembus, mencari tempat berpijak permanen, selama terkena sinar matahari…
Bagaimana hebatnya pun kau berusaha merepresi, menekan, meneror, dan membungkam, kehidupan akan selalu berusaha dan bisa mencari jalan-Nya…