Kekacauan Sertifikat Vaksin

Oleh KAJITOW ELKAYENI

Hari ini teman saya tidak bisa naik pesawat. Gara-garanya, petugas bodoh di bandara meminta sertifikat vaksin harus dicetak. Saya ulangi HARUS DICETAK. Akhirnya dia muter-muter nyari printer yang bisa mencetak sertifikat itu. Karena terlalu lama, maka dia ketinggalan pesawat.

Orang-orang di lapangan itu kadang tidak satu suara dengan bos mereka. Angkasa Pura misalnya, tidak mewajibkan proses cetak sertifikat ini. Tapi karena kapasitas kecerdasan di lapangan minim, juga karena tidak ada empati, maka mereka itu sepertinya senang sekali melihat orang sengsara.

Tiket pesawat otomatis hangus. PCR untuk beberapa orang juga akhirnya tak berguna. Dan yang lebih celaka, kegiatan liputan itu batal. Tragedi ini mungkin banyak terjadi. Tapi kebanyakan orang mungkin juga tidak tahu peraturan sebenarnya.

Ini kan soal informasi dan koordinasi di bawah. Tapi pemerintah memang kurang cakap menangani hal ini. Peraturan sudah turun, orang-orang di lapangan mirip kebo di sawah. Akhirnya terjadi kekacauan. Nanti ujung-ujungnya hanya minta maaf. Dan tidak ada sanksi atas kebodohan itu.

Teman saya itu wartawan. Mau liputan ke Riau. Mestinya sebagai wartawan, dia diberi sedikit kelonggaran. Tapi kembali lagi pada mental petugas yang tak memiliki kepekaan. Berlagak menjadi penguasa kecil di bandara.

Sebenarnya setiap orang yang sudah vaksin itu terdata di situs pedulilindungi.id. Jika memang petugas bandara itu niatnya mau membantu, mereka bisa mengecek di situs itu.

Orang yang lupa menunjukkan sertifikat vaksin bisa menunjukkan KTP-nya. Tinggal klik muncul statusnya sudah vaksin apa belum. Atau petugas bisa menscan QR code pada sertifikat vaksin.

Kalau mereka kekeuh sertifikat harus dicetak, mestinya mereka modal. Sediakan printer. Kasih harga cetak juga gak masalah. Karena sebagian orang yang mengejar pesawat itu buru-buru.

Tapi dari begitu banyak pejabat di lingkungan Jokowi, tidak ada yang berpikir sampai ke sini. Saya gak ngerti mereka ini seperti main-main saja kerjanya.

Langkah itu tidak dilakukan orang lapangan, karena dari bos mereka juga tidak ada arahan. Koordinasi kacau. Satgas Covid-19 beserta aparatur yang terkait kebanyakan tidak berpikir di luar kotak. Mirip robot yang tidak memiliki imajinasi. Menyedihkan sekali.

Proses kewajiban menunjukkan sertifkat vaksin ini bakal semakin kacau di lapangan. Untungnya satpam di mall sedikit lebih waras. Mereka membolehkan masuk orang yang menunjukkan sertifikat vaksin di gawai mereka.

Memang kalau saya perhatikan, pemerintah ini bersikap agresif ke kalangan menengah ke atas. Tapi ketika berhadapan dengan massa akar rumput, nyalinya ciut. Misalnya pasar-pasar itu, tak ada itu soal sertifikat vaksin. Dan itu justru yang dibuka bebas. Dari tempat-tempat itulah penularan Covid-19 terjadi.

Tapi yang dipersulit malah mall. Harus tutup. Padahal masuk ke mall itu sangat ketat. Dan mereka kelompok yang cenderung bisa diatur. Lalu kalau ditutup, nasib karyawan mereka bagaimana?

Pertanyaannya, kenapa pemerintah mengambil langkah tebang pilih itu? Karena rakyat akar rumput itu banyak jumlahnya. Kalau mereka ngamuk, repot negara.

Sementara kelompok kelas menengah ke atas relatif sedikit dan tidak mungkin melakukan demo ke jalan-jalan. Oleh sebab itu, kelompok menengah ini dikorbankan. Ini kan omong kosong namanya. Kalau memang mau serius menangani Covid-19, peraturan harus ditegakkan untuk semua kelompok. Jangan tebang pilih. Jangan pandang bulu. Pertarungan melawan Covid-19 di Indonesia ini memang kacau sekali. Para pejabat di atas sibuk koordinasi, koordinasi dan koordinasi. Sementara yang di bawah kayak kebo, gak kenal koordinasi.

Soal sertifkat vaksin saja ribetnya kayak gini. Yang jadi korban adalah rakyat. Terutama mereka yang jadi tumbal kebodohan petugas di lapangan. Seperti teman saya itu. Mau mengadu tak tahu ke mana. Mengadu pun juga percuma.

Avatar photo

About Kajitow Elkayeni

Novelis, Esais, lahir di dusun kecil bernama di Grobogan, tinggal di Jakarta. Beberapa karyanya Medhang Kamulan (novel), Rajasa Wilwatikta (kumpulan cerpen), Dua Kelana Mencari Cinta (kumpulan puisi).