Seide.id – Kekerasan seks, pencabulan, penyimpangan seks, fakta dunia yang semakin marak dilakukan oleh siapa saja, lintas keyakinan, usia, status sosial. Penyebabnya saya pikir, iming-iming seks melampaui kanal pelepasannya, ketika superego manusia tak bisa lagi diandalkan.
Iming-iming seks dunia sudah sangat luar biasa sekarang. Segala adegan seks dengan mudah bisa diakses segala umur. Bukan saja menggoda usia yang belum waktunya menyaksikan dan mengalaminya, juga merongrong segala usia orang yang sudah menikah.
Dorongan seks, harus diakui, lebih dari seribu tenaga kuda. Orang bisa kehilangan statusnya, bahkan seorang presiden pun, sejarah sudah mencatatnya. Hadirnya selir, gundik, poligami, prostitusi, dalam segala kurun sejarah manusia, menunjukkan betapa tak terbendungnya dorongan seks, bahkan yang ilmu agamanya kuat sekalipun, seks melebihi sensasi sudah kenyang makan belaka.
Manusia tak ubahnya binatang, punya naluri seks, punya id, punya ego, pemicu kuat kodratinya supaya berkembang biak (prokreasi). Karena nikmat, setelah prokreasi, dan KB ditemukan, seks menjadi rekreasi.
Pada masa seks berubah rekreasi inilah dui dunia orang mulai menjadi macam-macam. Ketika di kepalanya selalu saja ada melintas sensasi seks, tak peduli apakah sudah punya banyak istri, simpenan, atau entah apa, seks bisa selalu merasa lapar.
Walau manusia bernaluri hewani juga, bedanya dengan hewan, manusia membangun superego dari nasihat, Agama, dan pendidikan yang diterimanya, sehingga menjadi beradab sebagai insan seks. Superego itu yang menjadi polisi jiwanya. Itu yang menjadikannya tidak seks dengan siapa saja, dan hanya dengan yang sah secara keyakinannya sebagai pasangannya.
Menjadi manusia beradab berarti telah berlangsung internalisasi segala nilai, yang semakin membedakan manusia dari hewan. Insan itu manusia yang terbangun superegonya, yang senantiasa mengendalikan egonya, sehingga merasa tidak patut melanggar pagar Agama, norma, dan etika.
Superego lalu dipertaruhkan manakala kehidupan sosial semakin terbuka, polos, dan telanjang. Para isteri bergaul dengan suami orang, dan suami bergaul dengan istri orang di tempat kerja, sehingga pergaulan berubah menjadi kawasan open marriage. Kehidupan seks lalu menjadi lebih terbuka, istri mendengar pengalaman seks dari suami orang, dan suami juga begitu. Seks lalu menjadi komoditas.
Seks sendiri netral, tak ubahnya atom, bisa untuk dimanfaatkan untuk kebaikan sebagai terapi medis, bisa juga dimanfaatkan untuk kejahatan bom atom. Di mata orang beriman, seks hakikatnya sesuatu yang luhur, bukan kotor, dan dosa.
Ketika seks semakin dimanipulasi oleh teknologi dan budaya, seks berubah menjadi hiburan. Itu yang lalu menggoda orang untuk terus mengejarnya karena sekali lagi, sensasi yang seks berikan lebih dari sekadar nikmat makan-minum. Dan sensasi itu senantiasa abadi di benak yang sudah mengalaminya.
Masuk akal kalau kehidupan seks kiwari jauh lebih menggoda, tak semua sanggup mengekangnya. Sebut saja ada oknum anggota DPR, pendidik, pemuka agama, tidak terkecuali tak terluput dari godaan iming-iming seks. Mereka merasakan seks melampuai akal sehatnya, menaklukkan superego yang sudah terbangun oleh pendidikan, nasihat, dan wejangan para pinisepuhnya. Bukan fiktif kalau sejarah mencatat status presiden saja bisa bertekuk lutut ketika seksnya meronta.
Tantangan godaan orang sekarang jauh lebih berat dibanding masa kakek-nenek dulu yang tidak menonton TV, tak ada youtube, dan jauhnya pergaulan cuma sebatas tetangga, tak memikul ekses bermedia sosial. Seks bahkan sudah merambah disentuh teknologi informasi, sehingga mendekatkan setiap orang untuk lebih rentan melanggar yang serba terlarang itu.
Ada studi di Denmark, kalau negara lebih bebas membuka keran pelepasan seks, sebut saja, prostitusi, angka kekerasan seks turun. Itu studi lima dasawarsa lalu, ketika iming-iming seks dunia belum seseronok sekarang. Ketika ada fakta masyarakat desa nonton film beradegan seks misbar tanpa sensor, di desa-desa, ini satu bentuk iming-iming seks juga, saya melihatnya sudah sejak tahun 90-an, satu desa terpencil. Studi Sarlito Wirawan Sarwono, almarhun, menemukan di di banyak desa di Jawa Tengah. Orang desa tergoda seks. Anak-anak sekarang bisa dengan mudah membuka adegan seks dari kamar tidurnya.
Iming-iming seks berkeliaran, semakin centil merongrong semua naluri kebinatangan manusia. Kalau dorongan seks melebihi seribu tenaga kuda, siapapun sukar membendungnya. Mencari pelepasannya, menjadi urusan pribadi masing-masing, tapi itulah fakta kehidupan yang tidak boeh kita nafikan.
Yang masih bisa dilakukan, terus memupuk keimanan, keteguhan superego, demi membendung dorongan seribu tenaga kuda, dengan catatan, mungkin tidak semua orang mampu. Ingat kisah sepasang orang beradab tidak saling mengenal, berdua terdampar di sebuah pulau tak berpenghuni, apakah bertahan untuk tidak berbuat seks?
Pergaulan modern menemukan berbagai bentuk pelepasan seks, yang dulu tidak pernah ada, sehingga muncul istilah baru, bagaimana manusia meyiasati dorongan kodratinya yang kemudian dilumrahkan pergaulannya.
Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL
Ikuti : Kalau Bisa Tanpa Obat Itu Resep Dokter Yang Paling Arif