Keluar dari Grup Tari Balet Terkemuka, Juliet Widyasari Burnett Tekuni Tari Jawa

Juliet Catherina Widyasari Burnett - Menari Jawa

Menurutnya, ada persamaan antara balet dan tarian Jawa.  “Walaupun gerakannya sangat berbeda, dari sisi gaya, sampai asal kebudayaannya, banyak sekali persamaan, misalnya gerakan kaki,” katanya.

BUTUH Butuh angin segar “ menjadi alasan bagi Juliet Chaterine Widyasari Burnett untuk meminta izin pada perusahaan tari (dance company) untuk memperbolehkannya mengambil beasiswa di perusahaan balet di Eropa dan Amerika.

Juliet, 37, memberanikan diri untuk mundur dari perusahaan tempatnya bekerja untuk mencari identitasnya sebagai keturunan Australia-Indonesia.

“Karena saya punya rasa penasaran tinggi terhadap tari Jawa dan merasa mempelajari tari tersebut bisa membantu saya, ” katanya kepada ABC Australia.

Di sisi lain, sebagai seseorang yang berjumpa dengan dunia pekerjaan di usia belia, dia pun sampai pada masa dirinya merasa burned out  (letih dan jenuh), yang berujung pada krisis eksistensi.

“Tidak ada yang paham mengapa [saya mundur]. Tapi saya merasa harus melakukannya karena ingin menemukan banyak hal sebelum tubuh saya sudah tidak lagi dapat melakukannya,” kata Juliet.

Perasaan menggelitik itu terbukti benar, setelah Juliet menghabiskan masa di Solo dan mempelajari tari klasik Yogyakarta, yaitu Tari Golek.

Di tahun 2015, keponakan penyair WS Rendra ini mundur dari perusahaan besar itu dan bekerja ‘freelance’, atau lepasan selama dua tahun di Indonesia.

Dia pun menemukan benang merah antara balet dengan tari yang mengisahkan Nyai Roro Kidul, Ratu Laut Selatan tersebut.

Tari Jawa menyadarkan Juliet akan identitas seninya yang kemudian membuka pintu kolaborasi antara seniman Indonesia dan Australia.

Menurutnya, ada persamaan antara balet dan tarian Jawa.  “Walaupun gerakannya sangat berbeda, dari sisi gaya, sampai asal kebudayaannya, banyak sekali persamaan, misalnya gerakan kaki,” katanya.

“Juga bagaimana tangan harus digerakkan dengan anggun, dan tubuh dengan megah, karena ditampilkan di hadapan bangsawan.”

Pengalaman tersebut membuka mata Juliet akan “identitas seni”nya, hingga mendorongnya untuk meninggalkan zona nyamannya.

Tari Jawa menyadarkan Juliet akan identitas seninya yang kemudian membuka pintu kolaborasi antara seniman Indonesia dan Australia.

Melihat pentingnya kolaborasi antara seniman Australia dan Indonesia, Juliet menciptakan ruang kolaborasi melalui proyek A_PART, yang akan diluncurkan dalam waktu dekat.

“Saya bekerja sama dengan koreografer Indonesia dan Australia, mengenal penarinya, dan berhubungan kembali dengan dua kebudayaan itu.”

Sejak itu, penampilan tari Juliet selalu diwarnai elemen tari Jawa yang dan klasik barat, serta gerakan kontemporer.

Selain itu, Juliet juga aktif menyusun proyek bersama seniman berdarah Indonesia di Australia lainnya.

Bersama seniman Karina Utomo, Rama Parwata, dan Jaya Parwata, dia akan meluncurkan proyek seni tari teater berjudul “Kasekten”, istilah Jawa yang berarti kekuatan.

“Karya ini mengisahkan bagaimana perempuan merebut kembali ruang mereka dan menulis ulang sejarah,” katanya.

“Saya bekerja sama dengan seniman seni rupa Australia yang akan membuat [prototipe] gunung berapi di mana kami tampil, dan diiiringi musik gamelan.”

“Proyek ini sangatlah penting, karena … juga akan menginspirasi seniman untuk memulai percakapan tentang kreativitas dan kebudayaan lintas benua,” katanya.

“Penonton dari seluruh dunia juga akan dapat melihat seniman dari kedua negara ini.”

A_PART adalah studio dan panggung online yang akan menampilkan karya seni dari para seniman kedua negara. Upaya menjembatani seniman Indonesia dan Australia.

Dalam perjalanan mencari jati diri di tanah kelahiran ibunya, Juliet sering berjumpa dengan anak-anak Indonesia yang juga diajarinya menari balet.

Juliet berharap anak-anak Indonesia yang tertarik untuk menekuni karier sebagai penari bisa mewujudkannya.

Bagi anak muda di Australia maupun Indonesia yang ingin berkarier di dunia seni, dia memiliki pesan penting.

“Yang ingin saya sampaikan pada mereka adalah untuk berpegang pada hal yang membedakan mereka dari seniman lain dan terus menjaga integritas,” katanya.

Menurut Juliet, di masa modern ini, “seni sering dipandang sebagai sebuah perlombaan”.

Namun, dia menekankan bahwa jumlah like atau pengikut di media sosial bukanlah segalanya.

“Seni bukan tentang kuantitas, kita kurang menaruh fokus pada kualitas … dan ini berisiko menghilangkan seni itu sendiri,” katanya.

“Temukan diri Anda sendiri dalam seni. Itu yang akan membedakan Anda dari yang lain.”  . (ABC/dms)

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.